Jumat, 14 Agustus 2009

Cerpen Ratna Indraswari "Kanal" : Dialektika Indonesia dan Belanda di era (Post)kolonial

(http://www.facebook.com/note.php?note_id=117052013060#/note.php?note_id=107834408060)

Cerpen “Kanal” (Jawa Pos, 26 April 2009) karya Ratna Indraswari Ibrahim menarik untuk dikaji dalam perspektif wacana sastra postkolonial. Ratna melukiskan dialektika (generasi) negeri bekas penjajah (Belanda) dan terjajah (Indonesia) dengan beberapa fenomena negosiasi budaya dan identitas yang melingkupinya. Sastra postkolonial memang tidak harus bertumpu pada tema konfrontasi senjata. Berbagai tema karya sastra yang terkait dengan fenomena sosial budaya yang terus berlangsung hingga kini, sebagai akibat dari praktek penjajahan, juga menjadi wilayah studi sastra postkolonial. Pemahaman bahwa bentuk penjajahan tidak hanya bertumpu pada kekuatan senjata, tetapi juga kekuatan politik, budaya, pendidikan (pengetahuan) dan teknologi menjadikan kajian sastra postkolonial tidak terbatas pada rentetan peristiwa dalam sejarah penjajahan masa silam.

“Kanal” membuka kembali memori penjajahan Belanda atas Indonesia sekaligus menghadirkan beberapa fragmen situasi dan relasi sosial budaya pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Di era penjajahan, Belanda (Barat) menjadi ‘pusat’, sementara Indonesia adalah ‘pinggiran’ yang dieksploitasi demi kejayaan Belanda. Di era (post)kolonial, Belanda, yang pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad, bisa jadi masih berusaha memosisikan dirinya sebagai ‘pusat’ dan negeri kuat. Pemerintah Belanda membiayai orang-orang Indonesia, seperti tokoh Nunung, untuk studi di Belanda. Tokoh Nunung dalam cerpen “Kanal” adalah segelintir orang Indonesia, seperti tokoh-tokoh penting Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan, yang merasakan bangku lembaga pendidikan di negeri Belanda. Studi di negeri ‘pusat’—Barat, bagaimanapun masih menjadi narasi besar dan impian orang-orang dari negeri ‘berkembang’, termasuk Indonesia.

Setting kota Amsterdam di mana tokoh Nunung melanjutkan studi adalah kota yang memiliki universitas ternama sehingga banyak mahasiswa mancanegara yang kagum dan tertarik untuk studi di sana. Amsterdam menjadi bagian dari konstruksi ‘kota metropolis’ yang membuat Nunung terasing—“sangat tidak merasa nyaman”, sebagaimana dilukiskan Ratna di bagian awal cerita—cultural shock yang sering terjadi dalam translokasi manusia dari satu negara ke negara lain. Sebagai satu dari sekian mahasiswa Indonesia yang mendapatkan dana studi dari negara Belanda, Nunung adalah representasi dari program ‘politik etis’ Belanda di era postkolonial. Kolonialisme secara formal memang telah berakhir ketika sebuah negera memproklamasikan kemerdekaannya, tapi bukan berarti praktek-praktek kolonialisme berakhir. Konstruksi wacana yang dilakukan barat terhadap negeri-negeri timur dengan berbagai bentuk budayanya, termasuk yang dilakukan oleh tokoh Bryan, mahasiswa Belanda, yang membangun stereotipe manusia dan budaya Indonesia melalui pengetahuannya yang distorsif dan subjektif, dari sudut pandang dan kepentingan orang Belanda, adalah bagian dari dinamika diskursus (post)kolonial yang tak bisa dilepaskan dari dialektika ‘otoritas’, ‘superioritas’ dan ‘hirarki’.

Konstruksi Citra Manusia dan Budaya Indonesia dan Belanda

Tokoh Bryan berupaya membangun citra ‘antropologis’ manusia Indonesia dengan berkata kepada Nunung, “Rambut orang Asia itu bagus ya.” Pernyataan Bryan ini kemudian disertai keinginan Bryan untuk melukis rambut Nunung. Pernyataan yang secara implisit berpotensi melahirkan ‘otoritas’ Bryan atas diri Nunung—generasi bekas negeri jajahan; Bryan menyanjung Nunung untuk mendapatkan untung. Stereotipe fisik yang dikonstruksi Bryan juga menegaskan bias hirarki ras manusia yang berimplikasi pada dikotomi warna rambut, mata dan juga kulit: orang Belanda berambut pirang, orang Indonesia berambut hitam—yang bagi Bryan indah. Berupaya ‘mendialogkan’ citra orang barat dan timur, Ratna Indraswari lalu menarasikan ‘counter’ atas konstruksi stereotype orang Indonesia yang dikontruksi oleh Byan. Nunung berkata kepada Bryan,” Aku melihat laki-laki di negerimu tidak punya banyak pancaran kelelakian, seperti laki-laki di negeriku. Tapi, aku kira perempuan di negerimu sangat mandiri, mereka jadi kehilangan watak keperempuannya. '' Di sini Ratna berusaha membandingkan perbedaan kontruksi gender kedua negara dan mengkonstruksi citra manusia Belanda di mata orang Indonesia.

Bryan yang oleh Nunung masih dianggap sebagai ‘orang asing’— karena baru kenal di kampus—lalu berusaha akrab dengan Nunung dengan mengatakan bahwa dia tahu banyak tentang Indonesia, terutama terkait dengan masyarakat Indonesia yang beragam namun dipenuhi kesenjangan sosial. Ketika Bryan berkata, “Begitu plural bangsamu, dari yang bisa belajar di sini sampai mereka yang tetap bertahan hidup di pedalaman Kalimantan atau Papua. Sedangkan di sini hampir seragam kehidupannya”, implikasi yang muncul adalah pencitraan Bryan atas Indonesia dan Belanda: Indonesia berada dalam konstruksi ‘inferior’ dan Belanda dalam posisi ‘superior’. Kesenjangan manusia Indonesia, antara mereka yang mendapatkan kesempatan pendidikan dengan mereka yang masih teralienasi di pedalaman adalah konstruksi narasi Indonesia yang dilakukan Bryan. Sebuah narasi yang seringkali dijadikan alasan oleh beberapa negara Barat untuk melaksanakan agenda ‘memeradabkan’ negara-negara dunia ketiga. Dalam konteks ini apakah kebijakan Belanda untuk memberikan beasiswa kepada Nunung bermakna seratus persen negatif dan selalu berada dalam kerangka binari oposisi antara (bekas) penjajah dan terjajah? Relasi penjajah dan yang terjajah tak selamanya oposisi, tetapi terkadang mutual. Baik Indonesia dan Belanda sama-sama bisa meraih keuntungan. Tokoh Nunung bisa pulang ke tanah air dengan ilmu yang makin bertambah untuk kemudian turut bekerja keras membangun Indonesia. Belanda mengambil keuntungan dengan melakukan penetrasi ‘otoritas’ dan pengaruh di Indonesia melalui Nunung.

Dialektika wacana postkolonial terlihat makin dinamis terutama ketika Bryan berkata kepada Nunung bahwa kakek Bryan pernah tinggal di Indonesia sebagai amtenar di pabrik tebu pada masa pendudukan Belanda. Bryan memberikan penegasan bahwa kakeknya tidak pernah menembak orang-orang Indonesia, karena sang kakek bukanlah tentara. Ini adalah pembelaan Bryan yang paradoksial, karena penjajahan yang dilakukan Belanda pada hakekatnya tidak hanya bertumpu pada senjata dan pemusnahan nyawa, tetapi juga eksploitasi kekayaan alam Indonesia, termasuk melalui kerja ‘orintalisme’ yang dilakukan oleh Snouck Horgunje. Sebagai bagian dari sistem dalam Pabrik tebu yang eksploitatif, kakek Bryan jelas bagian dari representasi imperialis karena pabrik tebu di era pendudukan Belanda menjadi bagian dari pendulum penjajah Belanda untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia. Bryan tampaknya ingin berkelit dan meraih simpati Nunung dengan menjauhkan Nunung dari persepsi generalisasi keterlibatan kakek Bryan dalam penjajahan Belanda di Indonesia yang kejam dan berdarah; Bryan membangun wacana bahwa penjajahan menyakitkan yang dilakukan oleh Belanda adalah sebatas menembak orang Indonesia. Sayang, Ratna tampaknya tak memiliki intensi membangun narasi resistensi (perlawanan) atas klaim Bryan ini.

Ratna justru cenderung menguatkan superioritas Belanda (Barat) dalam hal etos kerja. Tokoh Nunung mengutip pernyataan Eyangnya, ''Papamu kalau kerja ngotot kayak landa.” Ucapan ini secara implisit mengandung makna bahwa kerja keras (ngotot) adalah warisan dan budaya Belanda. Padahal bangsa Indonesia juga memiliki tradisi kerja keras dengan irama dan prinsip-prinsipnya. Benar bahwa Ratna tampaknya ingin menggaris bawahi ‘kerja ngotot’ seperti orang Belanda bisa beresiko menyita waktu dan menjebak manusia dalam kubangan materialisme, sehingga keluarga bisa mengalami disharmoni. Padahal di bagian lain cerita, Nunung berkata kepada Bryan,” ''Kalau di negeriku, kau bisa melihat kemandirian kami sampai di desa-desa. Bahkan, beberapa perempuan di desa secara kejiwaan lebih mandiri, karena mereka ikut menopang ekonomi keluarga […]”. Di sini Ratna jelas mewacanakan kerja keras manusia Indonesia dan kembali menyinggung persoalan gender. Narasi Ratna ini justru dengan sendirinya mendekonstruksi narasi Ratna sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa, jika dibandingkan dengan wanita Indonesia, wanita Belanda lebih mandiri sehingga kehilangan watak keperempuanannya. Dan ternyata kerja keras manusia Indonesia juga luar biasa karena wanita juga sering menopang ekonomi keluarga. Hal ini berarti bahwa “kerja ngotot kayak landa” perlu diperjelas kembali parameter dan kriterianya oleh Ratna.

Menimbang Narasi Resistensi

Sebagai tokoh terdidik, Nunung mestinya lebih bisa menaikkan ‘bargaining position’ citra Indonesia dan melepaskan konstruksi negatif manusia dan budaya Indonesia di mata Belanda. Namun Nunung justru memberikan generalisasi sikap manusia Indonesia yang mengalir dan cenderung berharap kepada Ratu Adil. Memberikan tanggapan atas pernyataan Bryan bahwa orang-orang Belanda sudah terdidik dengan jadwal waktu yang tepat, Nunung berkata kepada Bryan:

''Kau tahu, tidak banyak bangsaku melakukan hal itu. Hidup kami mengalir bersama mimpi-mimpi dan harapan. Karena itu apa pun jeleknya situasi negeri, kami masih berharap ada ratu adil yang akan menolong setiap orang di negeriku.''

Secara eksplisit berarti Nunung melihat bahwa orang Indonesia tidak terbiasa dengan jadwal, tapi cenderung mengalir. Dengan permasalahan dalam negeri Indonesia yang juga disinggung dalam cerpen “Kanal” , yang begitu serius, mulai masalah politik, ekonomi, hukum, korupsi, apakah dengan mengalir seperti air dan bertumpu kepada ratu adil, Indonesia akan bisa sejajar dengan negara-negara maju seperti Belanda, yang sekian lama bisa mendanai orang-orang Indonesia untuk studi di sana. Generalisasi Nunung atas sikap manusia Indonesia dan penggunaan kata “kami” jelas tidak merepresentasikan sikap manusia Indonesia yang begitu plural.

Ratna Indraswari Ibrahim tampaknya masih perlu memikirkan bagaimana teks “Kanal” tidak hanya berhenti pada ‘nostalgia’ masa penjajahan, dan kisah dua insan beda bangsa, tetapi bagaimana juga membangun ‘resistensi’ Indonesia di mata bangsa yang pernah menjajahnya. Namun, konstruksi narasi resistensi Indonesia atas Belanda pasti sangat dipengaruhi oleh ‘prinsip’ dan ‘pilihan’ Ratna Indraswari dalam ‘bersastra’. Di akhir cerita, Ratna memilih menarasikan Nunung yang tengah merasa bahwa Bryan duduk di sampingnya ketika pesawat membawa Nunung pulang ke Indonesia. Apakah citra lelaki Belanda seperti Bryan dan permainan wacana yang dibuatnya begitu kuat membayangi alam pikiran Nunung?


Yusri Fajar
Bayreuth Bayern, 11 Mei 2009

Siapakah Godot dalam 'Menunggu Godot'?

(http://www.facebook.com/note.php?note_id=107931398060)

Tokoh Godot, dalam drama ‘Menunggu Godot’ karya Samuel Beckett, yang hanya muncul dalam dialog antara Estragon (Gogo), Vladimir (Didi), Pozzo, Boy dan Lucky memang sosok penuh misteri. Samuel Beckett sendiri menolak untuk memberikan informasi tentang siapa sesungguhnya Godot. Beckett bilang secara diplomatis," If I knew, I would have said so in the play. (Jika aku tahu, aku akan mengatakannya dalam drama tersebut)" Namun Beckett seseungguhnya juga tidak secara total 'merahasiakan' identitas Godot. Hanya saja, identitas yang dikonstruksi Beckett atas Godot adalah identitas yang berada pada ruang diskursif yang penuh antitesis. Meski Godot berada pada posisi 'absence' tapi konstruksi-konstruksi atas identitas 'absurd' nya membuat Godot, menurut saya, justru menjadi 'presence'. Dalam wacana pos-modernisme tentu saja 'ketidakjelasan' dan ‘indeterminacy’ semacam ini bisa dilihat sebagai strategi untuk memutarbalikkan kerangka 'realitas' yang dalam perspektif modernisme selalu dihadirkan secara transparan dan determinan. Tidak hanya representasi realitas gaya modern saja yang sebenarnya berupaya didekonstruksi oleh kaum posmodernis tetapi juga bangunan dikotomi yang berbinari. Karya-karya postmodern selalu menjunjung tinggi peleburan dua entitas melalui filosofi gerak ‘siklikal’nya, berputar dalam kejamakan.

Lebih jauh, berkaitan dengan identitas 'absurd' dan tak stabil seperti dalam kasus Godot, opini para teoritikus seperti Erik H Erikson (psikolog sosial), Woodward (sosiolog), Stuart Hall (Budayawan), untuk menyebut beberapa nama, bisa dipertimbangkan. Pemikir-pemikir ini pada dasarnya bersepakat bahwa identitas adalah proses tanpa akhir yang melibatkan komponen sosial yang secara dinamis melakukan identifikasi dan konstribusi. Konfigurasi identifikasi selalu melibatkan ‘self’ dan ‘others’, ‘identified’ dan ‘identifier’, melalui atribut-atribut yang melingkupi mereka. Karena itu wajar, jika konstruksi identitas selalu melahirkan distingsi-distingsi yang seringkali sulit diurai. Sejak Erikson, misalnya, memerkenalkan konsep ‘krisis identitas’, diskursus identifikasi menjadi lebih multi, tidak ada lagi kecenderungan ‘tunggal’. Kalau beberapa kritikus di Barat menganggap Godot adalah Tuhan Yesus dengan alasan kesamaan identitas, sifat, dan tingkah laku antara Godot dan Yesus, saya kira itu adalah hak mereka. Ada kritikus lain yang bilang Godot adalah ‘nothing’, bukan apa dan siapa-siapa. Bagi saya juga silahkan saja.

Lalu bagaimana saya memaknai konstruksi identitas Godot yang misterius itu?


Mula-mula saya berupaya mengenali bagaimana Beckett mendeskripsikan Godot dengan melacak di bagian mana Godot 'dihadirkan' pertama kali. Ternyata sejak awal 'Godot' telah 'mendatangi' pikiran Vladimir dan Estragon. Godot dideskripsikan melalui kata ganti orang ketiga tunggal 'he'. Ini terjadi ketika Estragon dan Vladimir mulai memertanyakan Godot dan berkomitment untuk setia menunggunya. "He didn't say for sure he'd come," kata Vladimir untuk memberi informasi kepada Gogon bahwa Godot (he) tak jelas kapan datang. Kata ganti 'he' ini tentu saja menjadi 'antitesis' awal atas identitas Godot yang Beckett sendiri menyatakan tak 'tahu'. Dengan kata ganti 'he' tentu identitas itu sendiri telah terbangun meski masih kabur. "He' siapa? Yang jelas bukan 'she' atau 'it'. Sampai di sini, ternyata Godot bukan 'entitas' kosong yang seratus persen 'absurd'. Godot adalah entitas yang mengacu pada 'sesuatu' yang sudah sedikit 'tertentu' yaitu 'dia/he'. Coba tanya kembali pada Beckett, kenapa dia menggunakan kata ganti 'he' untuk 'Godot'-bukannya 'she' atau 'it', saya prediksi Beckett akan menjawab tak tahu lagi. Beckett sendiri sudah meninggal, oleh karena itu 'the death of the author' nya Roland bathers sudah tak perlu diperdebatkan jika memang ada yang ingin dan fanatik menjadikannya rujukan. Saya sendiri tak berupaya mengambil posisi terhadap opini Barthes. Yang terpenting adalah saya bisa melanjutkan apresiasi drama ‘Menunggu Godot’ ini secara bebas merdeka tetapi tetap bertanggungjawab. Akhirnya sampai pada perntanyaan: apakah ‘he’, dalam konteks Godot, juga berarti laki-laki? Apakah mungkin Godot adalah Tuhan yang dalam kamus Islam juga memiliki kata ganti ketiga laki-laki (‘huwa’ bukan ‘hiya’)? Tetapi, apakah tidak terlalu jauh menginterpretasikan Godot sebagai Tuhan?

Berikutnya saya berupaya melanjutkan pencarian atas penanda berhuruf lima ini kembali: G-O-D-O-T. Apakah Beckett hanya berhenti pada kata ganti 'he'. Ternyata tidak. Dengan alur melingkar dan cenderung repetitif, Beckett membawa saya berputar-putar sebelum akhirnya bertemu dengan dialog antara Vladimir dan Estragon yang berisi kontruksi lain lagi atas identitas diskursif Godot. Di tengah kebingungan mereka atas sosok yang ditunggunya, Vladimir dan Estragon memiliki ide untuk melacak Godot melalui rekan bisnisnya, keluarganya, teman-temannya, buku-buku karangannya, dan rekening banknya. Di sini nampak sekali Beckett memainkan relasi persepsi dan konstruksi identitas yang ambigu untuk menjaga suspensi. Tapi Beckett di sini lagi-lagi tertangkap tak penuh berpretensi menyembunyikan 'Godot'. Identifikasi identitas yang dilakukan Didi dan Estragon menjadi dekonstruksi atas ketidakjelasan sosok Godot. Namun benarkah Godot punya teman, punya kolega bisnis, punya karya, dan punya rekening bank. Tak ada keterangan lanjutan. Yang jelas semua pihak dan benda yang ingin dilacak oleh Didi dan Estragon tak pernah muncul. Tetapi sampai di sini lagi-lagi saya menemukan 'Godot' sebagai sosok yang tak lagi 'absurd' meski masih terasa 'absurd'. Dialektika identitas fase kedua ini lagi-lagi memperkuat klaim para pemikir sastra postmodernism bahwa Beckett adalah salah satu tokoh teater yang menolak 'makna tunggal'.

Lalu? Tokoh Boy muncul dan berkata bahwa dia bekerja pada Godot sebagai penggembala ternak. Di sini Godot mendapatkan kontruksi identitas baru, sebagai 'tuan' ternak. Berarti Godot tergolong 'kaya', gumam saya sambil terus berupaya membedah absurditas berikutnya. Beckett mulai nampak bermain-main dengan 'personality' Godot untuk memain-mainkan 'curiousity' pembaca. Boy bilang bahwa Godot suka memukuli saudara laki-laki si Boy. Tetapi si Boy bilang bahwa Godot sangat baik kepadanya dan cukup perhatian kepadanya. Ah, ternyata tuan Godot diskriminatif, tidak adil! Bisik saya. Ambivalensi semacam ini adalah gaya khas sastra postmodern. Yang menarik adalah upaya Vladimir dan Estragon untuk terus melakukan investigasi. Rasa tak kenal lelah yang ditunjukkan Gogo dan Didi ini adalah ‘spirit’ khas eksistensialime di mana sang makhluk ‘berhak’ melakukan ‘ijtihad’, termasuk melawan ketidakjelasan dan ketidakmungkinan.

Dan kelucuan dalam absurditas muncul kemudian. Konstruksi identitas bergerak pada ruang anarkis-nya, persepsi di mana ‘others’ dilibatkan dalam kesulitan dan kepenatan pencarian identitas. Pozzo muncul, lalu secara serempak Estragon dan Vladimir mengidentifikasi Pozzo sebagai Godot. Tentu Pozzo menolak dipanggil Godot karena dirinya adalah Pozzo bukan Godot. Kesalahan identifikasi ini menandakan ketidakjelasan sumber dan hipotesis atas identitas ‘pihak’ yang ingin dicari atau ditemui. Pozzo yang mendengar dirinya dipanggil Godot lalu melakukan pengkaburan baru nama Godot dengan bilang,” What happens in that case to your appointment with this Godet Godot Godit. “ Nama sebagai salah satu piranti kecil dari identitas tak lagi mampu diperjelas oleh tokoh-tokoh sendiri.

Dan akhirnya saya memutar haluan ke bagian depan cerita, saya mendapati Estragon sendiri tak yakin bahwa ‘orang’ yang dia tunggu itu adalah Godot. “Apakah nama dia Godot?” tanya Estragon pada Vladimir. Lalu saya melompat ke bagian belakang, hampir penghabisan dari cerita. Saya menyaksikan Estragon bertanya kepada Boy,”Apa yang dikerjakan oleh Godot?” Boy menjawab,”Godot tak tak melakukan apa-apa!”

Yusri Fajar
Jerman 2008

Selasa, 05 Mei 2009

Puisi-Puisi: D.N. Hasan

ONANI KATA

Kata-kata bergema dalam ruang benak
Berdesakan menjelajahi otak
Kata-kata bergemuruh di ujung lidah
Akankah terlontar bagai muntah
Ludah
Ataukah sumpah serapah

Kata-kata tercurah dalam pena
Mengalir lewat tinta
Muncrat tumpah di atas secarik kertas
Bebas lepas
Seakan tiada batas

Akankah bermakana
Akankah tiada guna
Mengisi lembaran sejarah
Ataukah keranjang sampah
Engkau sendiri yang akan memberi arti

BELENGGU RINDU I

Titik-titik air terus menampari wajah bumi tanpa henti
Lesap dalam tanah merah
Semerbak harumnya memanggiliku
Rindu ku pun nyalang
Akan tanah pegunungan dan belantara sunyi
Nyanyian dedaunan dan serangga malam

Namun………
Langkahku terkotak dalam rumah ini
Atap bocor dan ancaman banjir
Karena kota Malang ku nan benar-benar malang
Telah menjadi kota ruko, mall, dan real estate
Tiada cukup lagi lahan tuk resapan air

Malang, Januari 2006

BELENGGU RINDU II
(Kepada Kota Malangku)

Kemana kaki harus melangkah
Bila rindu kian mendera ?
Dalam pengap belantara kota
Yang kian rimbun dan kering
Pohonku adalah
Tembok-tembok real estate
Tembok-tembok mall dan ruko
Sungaiku antrian kendaraan bermotor
Kabutku asap pabrik dan knalpot
Langitnya mendung turunkan hujan asam
Gunungku adalah timbunan sampah
Ampas gaya hidup konsumtif
Dan tebarkan wabah penyakit jiwa
Konsekuensi Tri Bina Cita kota Industri
Aku rindu harum tanah basah dan embunnya
Angin lembut yang belai kabut
Dan nyanyi malam binatang hutan
Kala sibak onak belantara kota
Kala lalui badai gunung
Atau cumbui tebing dan cadas bebatuan
Dengan balutan energi segarnya air kali
Kini
Kemana kaki harus melangkah
Bila rindu kian mendera ?
Sedang pada keheningan sana
Alam sedang berunjuk rasa
Tanah yang tergerak
Dan airpun berontak

BANGSA YANG BELAJAR DARI
NEDHERLAND-INDIE

Bangsa kita adalah bangsa yang besar
Bangsa yang mampu belajar dari sejarahnya
Bagaimana menjajah dan menindas
Rakyatnya sendiri
Dasar otak materialis, hati iblis

Malang, November 200

Puisi:Windri Arini

Cahaya Gelap
(http://eowynshimbelmyne.blogspot.com)

Beri aku setitik cahaya yang mengalir dari matamu
Sinari jiwa dengan mimpi
Tanpa harus merasakan dahaga
Lemah diriku...
Telah menabur duka yang tak kunjung surut

Seseorang...
Adakah setitik cahaya jika kau bersamaku?
Seseorang...
Adakah seberkas harapan saat kau di sampingku?
Seseorang...
Pernahkah terbesit menyisakan cinta di hatimu untukku?

Ketika kau sudah sangat melupakanku
Kuatkan diriku...
Ketika terpikir bahwa kini cahaya tak lagi sebagai cahaya
Namun gelap semakin merajai hatimu

(untuk AFRIca - Probolinggo, 01 Agustus 2006)

Jumat, 24 April 2009

Puisi: Liza Wahyuninto

YANG MENYAPA DI PAGIMU ITU AKU
(http://selamatpagiindonesia.wordpress.com/)

Setelah terlupa sepanjang malam
Di awal ingatku ke dunia
Namamu yang pertama kuingat
Menyapamu di awal kata terucap

Yang menyapa di pagimu itu aku
Membuka pagi-pagi dengan salam keselamatan
Yang memberi tanda di setiap embunmu itu aku
Dan ketika tidak ada aku embun yang wakilkan
Tuk sebut namamu, jua namaku

Malang, 11 April 2009

Minggu, 15 Maret 2009

Puisi: Frida Kusumastuti*

SAJAK 7 BULAN PENGEMBARAAN

(http://www.bestari.umm.ac.id)

1

Akan ada suatu kepastian

2

Teringat saat itu

Begitu tangguh walau melalui perbukitan terjal

Harapan tak memudar walau hati bergetar

Ada hantu yang berlalu lalang

Tetapi kita menjadi kuat menghadang

Saat ini,

Apalah arti hanya mendaki sendirian

Walau hantu tak lagi gentayangan

3

Di antara dua waktu

Aku selalu menunggu

Mungkin kini, mungkin esok

Sementara itu…

Waktu yang lalu tinggalkan jejak

Seolah kini dan esok gak perlu ditunngu

Engkau tinggal menuju

Di sana telah ada jamuan sepanjang waktu

4

Masih ada sinar

Lewat ujung jari yang memutih

Tapi kenap jari-jari ini semakin banyak berkerut?

Kering keriput seolah begitu uzur

Begitulah waktu telah letih menunggu?

Begitukah jarak telah jauh menghubung?

Layarpun semakin redup

Kacanya buram oleh jari keriput

Harus kujemput sebelum berlarut

5

Keagamaan menyambut

Tiada elan saat menatap

Berceloteh jauh hal di luar

Rasanya kaki tidak di sini

6

Ketika hatimu patah:

Seperti kau kehilangan separo dirimu

Lalu kau menjadi sangat rapuh

Bahkan oleh dentingan suara yang sangat halus

7

Kubuka cendela kamar

Angin segar berebut mengusap wajah

Embun jatuh di ujung hidung menyapa

Pendar cahaya mentari membuka pandangan nan sejuk

Buah cheri, memerah ranum bergerling ceriah…

Daun-daun melambai berdesau

Tanah menguap basah menguap manja

Sungguh Tuhan menciptakan alam ini begitu lembut

Penuh kasih sayang…

Hatikupun tersentuh

Sesuatu menelusup….

Kenapa aku harus merasa sendirian???

Lihatlah alam tak pernah berpaling darimu

Petiklah buah cheri

Manisnya alami, tanpa kepahitan

Raup embun pagi

Segar menyejukkan, tak pernah keruh

Hirup reguk uap tanah

Hangat tak pernah membakar

Sungguh Tuhan menciptakan alam ini begitu natural

Penuh kedamaian….

Anak sungaiku berlinangan

8

Kesunyian hati tak pernah menipu

Walau di sekeliling begitu hiruk

Seperti ilalang di tengah ladang

Di antara desauan angin beliung

Akankah angin mencabut sampai akarnya

Sehingga tubuhnya melayang tak tentu arah

Terhempas pepohonan, bebatuan, dan tebing

Lalu meringkuk sendirian di gelap jurang

Tiada yang mendengar rintihannya

Tiada yang akan mengusap lukanya


*Staf Pengajar jurusan Ilmu Komunikasi UMM. Penulis beberapa buku kumunikasi, penikmat dan menulis beberapa puisi.

Kamis, 05 Maret 2009

Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim

Pada Suatu Hari


Wawancara yang dimohon wartawati baru itu, oleh Presiden dikabulkan. Padahal, Annisa baru sepuluh bulan bekerja sebagai wartawati di media ini. (Kabar itu membengkakkan rasa cemburu rekan-rekannya, yang lebih senior). Lagi pula, semua orang tahu, yang mulia Presiden tidak mudah diwawancarai!

Dalam wawancara, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Annisa. Selama wawancara dengan Presiden, tidak diperbolehkan membicarakan politik, ekonomi, baik dalam maupun luar negeri. Yang diperbolehkan hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Wawancara bertempat di serambi belakang istana (di mana tempat itu adalah bagian terindah dari istana).

Wawancara akan dilakukan pada jam dua siang. Annisa harus hadir lima belas menit sebelum wawancara dimulai. Tidak diperkenankan membawa fotografer. Dan paling penting yang harus diingat Annisa, tidak diperbolehkan memakai parfum. Presiden yang perokok berat itu, alergi terhadap parfum. Padahal, tanpa parfum kesukaannya, Annisa merasa gamang.

Tepat lima belas menit sebelum jam dua siang, Annisa, 26 tahun, tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, bermata lebar, kulitnya cokelat seperti tanah yang baru dibasahi hujan, putri bungsu dari empat bersaudara Bapak-Ibu Syahrul yang pengusaha, hadir di serambi belakang istana.

Jam dua siang tepat, yang mulia Presiden muncul dengan mengenakan baju warna gelap. Tanpa senyum, mengulurkan tangannya kepada Annisa.
Ada perasaan galau dalam diri Annisa. Dia mencoba menetralisir pikirannya yang kacau-balau (Terkagum-kagum kepada Presiden yang pernah dikenal dekat oleh bundanya). Annisa tersedot.

Sambil menyulut rokok yang digemarinya, Presiden berkata, "Anda bisa memulai dengan pertanyaan pertama."
Annisa yang untuk selanjutnya disebut dengan inisial (A), dan Presiden dengan inisial (P), memulai wawancara yang bagi Annisa, membuatnya gugup, berkeringat. (Bundanya pernah berkata, akan sulit baginya, mewawancarai lelaki yang suka menjaga jarak dalam pembicaraan mereka).
***
A: Di masa muda Bapak menyukai olahraga tenis, apakah Bapak masih sempat melakukan olahraga itu?

P: Saya masih melakukannya pada setiap Sabtu siang. Tetapi, setiap memukul bola, pikiran saya selalu tertumpu pada pekerjaan. Sehingga sulit memenangkan pertandingan yang saya adakan dengan pegawai-pegawai di lingkungan istana ini.

A: Saya kira, Bapak sangat menyukai pekerjaan, padahal tahun ini Bapak genap berusia berusia 60 tahun.

P: Kadang-kadang dalam usia ini, saya ingin sekali beristirahat untuk menikmati masa kerja yang begitu panjang temponya. Tetapi, harus Anda ketahui, hal itu tidak akan pernah saya lakukan. Karena, sekali lagi saya tegaskan, banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

A: Bapak beranggapan kerja menjadi keseluruhan hidup ini?

P: Saya tidak bilang begitu. Karena kadang-kadang saya juga menikmati waktu senggang dengan bermain tenis atau bermain dengan cucu-cucu saya. Keseimbangan itu bisa menyehatkan siapa saja.

A: Apakah Bapak masih menyukai seni, seperti di masa muda? Karena Bapak pernah menerbitkan beberapa kumpulan puisi. Saya dan Bunda suka puisi Bapak yang berjudul Bulan di Atas Pohon Kenari.

P: Di masa muda adalah waktu yang mengasyikkan kala menciptakan puisi. Tapi itu sudah lewat. Pikiran saya selalu melompat-lompat pada problem yang desak-mendesak di negeri ini.

A: Apakah Bapak kecewa?

P: Tidak. Setiap orang berada pada situasi batas, di mana kita tidak bisa memiliki banyak pilihan.

A: Apakah sekarang Bapak masih suka nonton film seperti di masa muda?

P: Ya, film-film dokumenter, sejarah atau perang. Saya kurang suka menonton film roman. Melihat film itu seperti melihat ilusi yang bisa meninabobokan kita semua.

A: Menurut beberapa ahli mode, Bapak menyukai model-model konservatif dan cenderung menyukai warna gelap. Menurut majalah mode, Bapak adalah pria berbusana terbaik di tahun ini. Bagaimana komentar Bapak tentang pendapat para ahli mode itu?

P: Sejak muda, saya tidak mempedulikan mode. Buat saya, asal enak dipakai saja.

A: Kalau hidup ini bisa diulang, profesi apa yang Bapak sukai?

P: Penyair, karena saya bisa terlibat dengan banyak manusia, menulis kristalisasi kehidupan.

A: Apakah dengan menjadi Presiden, kita tidak bisa mengkristalisasi kehidupan ini?

P: Ibu Annisa, pertanyaan Anda lepas dari koridor perjanjian semula.

A: Maaf, sekarang bagaimana pendapat Bapak tentang perempuan?

P: Saya suka perempuan yang konvensional. Ini bukan berarti saya tidak menyukai wanita karier. Sebab, saya kira, pekerjaan apa pun pasti bisa menarik.

A: Bagaimana pendapat Bapak tentang cinta?

P: Saya kira, kita tidak bisa memanipulasi cinta. Untuk hal ini harus ada kerja sama.

A: Kalau saya boleh menyimpulkan, Bapak hanya mencintai kerja keras dan berharap semua orang bisa meniru sikap Bapak. Lantas apa yang tidak Bapak sukai?

P: Sikap malas dan perasaan lemah.

A: Biasanya, perempuan dianggap lemah karena gampang menangis, bagaimana pendapat Bapak?

P: Seharusnya perempuan yang tinggal di negeri ini bersikap rasional. Sebab, kehidupan di zaman ini siap tempur dan desak-mendesak.

A: Kenyataannya sekarang banyak perempuan bahkan laki-laki yang cengeng. Itu terlihat pada film-film, sinetron, novel-novel atau lagu yang mereka gemari.

P: Benar, di dalam buku saku saya, sudah ada rencana untuk menghimbau rakyat agar mereka meninggalkan kecengengan itu.

A: Tapi, kalau kita bersikap yang sama, dunia ini akan kehilangan warnanya. Bagaimana pendapat Bapak?

P: Paling penting adalah warna yang rasional.

A: Apakah Bapak masih bisa menikmati bunga yang mekar, misalnya?

P: Saya mencoba untuk tidak pernah terpesona pada segala hal.

A: Bagaimana pendapat Bapak tentang lomba go car yang baru-baru ini diadakan dan juara pertamanya cucu Bapak yang baru berusia tiga belas tahun?

P: Sayang sekali, saya tidak sempat menyaksikan lomba tersebut. Yah, kelihatannya memang menarik.

A: Bagaiamana pendapat Bapak tentang remaja masa kini?

P: Pada dasarnya saya berharap mereka bisa lebih kreatif. Ibu Annisa, saya kira wawancara ini bisa ditutup sampai di sini saja!
***
Pada kesempatan itu Presiden membuka sebuah kotak berisi sebentuk cincin bermata mirah.

"Seharusnya kotak ini saya berikan pada Bundamu, tiga puluh lima tahun yang lampau, di hari pernikahannya! Sekarang bisa kau berikan kepadanya. Bilang pada Ibumu, sebagai teman lama, saya menyarankan dia tidak hanya membuat novel-novel yang bertemakan kelemahan-kelamahan manusia saja."

Annisa gugup. Sebelum dia berbicara lebih lanjut, yang mulia Presiden berdiri.

"Kamu sangat mirip ibumu, Annisa! Tadi saya nyaris menyangka dialah yang hadir."

Annisa gelagapan. Dia merasa berhalusinasi ketika melihat kesedihan, cinta, kebencian, di mata laki-laki itu. Bundanya pernah berkata, lelaki ini sulit mengungkapkan perasaannya. Pada waktu yang sama, ayahnya melamar Ibunya.

Sebelum Annisa sempat berucap apa-apa, lelaki itu bergegas memasuki ruang kerjanya, melihatnya sepintas, kemudian menutup pintu ruang kerjanya!
***
Sore ini, di kamar, Annisa mencoba mengedit hasil wawancaranya dengan Presiden. Dia merasa kesulitan dan capek. Secara iseng Annisa membuka chanel TV, kemudian dengan geram mematikannya lagi, kala berita infotaiment sore itu mengatakan, Annisa berhasil mewawancarai Presiden, yang biasanya sulit diwawancarai! Dan, kata presenternya, bagaimana Anissa bisa semudah itu mewawancarai presiden.

Annisa berpikir, sebuah tembok mengelilinginya. Dia ingin menghancurkan tembok itu. Annisa mengerti bahwa lelaki itu mirip orang yang dicintainya. Padahal saat ini Annisa sudah bertunangan dengan lelaki lain.

Keputusan ini tidak mudah. Bundanya menganggap, dia tidak mengambil keputusan yang tepat. Bundanya berkata, "Kalau tidak ada ketegasan dalam hubunganmu, mengapa kau harus bertunangan dengan orang lain. Nduk, pernikahan itu tidak bisa disederhanakan, apalagi ketika kau marah dengan pacarmu, kemudian bertunangan dengan orang lain."

Annisa tidak bisa menceritakan kepada Bundanya. Dia sekarang paham, cinta mereka memunculkan pemberhalaan. Sehingga dia berpikir harus menghancurkan perasaan cintanya sendiri sebelum menjadikan pacarnya sebagai berhala dari perasaannya itu. Tidak mudah memang, seperti membelah diri sendiri. Apakah ini juga pernah dilakukan oleh Bundanya?

Diam-diam Annisa merasa Bundanya perempuan cerdas yang lebih punya intuisi terhadap kehidupan perkawinannya. Pernikahan orang tuanya berjalan biasa-biasa saja. Sejak kecil Annisa tidak melihat kejanggalan atau keburukan, dalam umur pernikahan mereka? Namun Annisa tumbuh sebagai anak bungsu yang mendapat banyak perhatian dari orang tuanya.
***
Sebetulnya, ceritanya harus dimulai dari sini. Annisa merasa seperti kebanyakan mahasiswa yang penuh cita-cita dan cinta. Namun gelisah terus-menerus. Sampai suatu kali dia merasa muak dengan segala hal. Di ruang perpustakaan dia membaca, bertemu dengan seorang laki-laki. Ini memang sebuah cerita klise. Namun, sejak itu perhatiannya tertumpah kepada laki-laki itu saja. Sehingga Annisa seperti diseret ke dalam arus yang besar dan tidak bisa kembali. Annisa tercekik dan putus asa. Cintanya sudah menjadi berhala yang berada di setiap sudut ruang kuliah, kamarnya, bahkan di sebuah ruang yang paling privat. Sepertinya Annisa sudah berteriak-teriak, berguling-guling untuk memutuskan itu.

Annisa mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan.
Kemudian, untuk pertama kalinya Annisa menyulut rokok kegemaran Presiden, mengurung diri dan bekerja keras tanpa mempedulikan tunangannya yang memanggil-manggil di luar kamar. "Annisa, apa yang terjadi denganmu? Beberapa hari ini aku tidak bisa menghubungi ponsel atau telepon rumahmu," katanya lembut.
Annisa diam, diam saja. ***

Malang, 17 Januari 1984 / 30 Oktober 2004

Cerpen: Nuril M*

SEMANGAT SIANG


Masa muda adalah masa pancaroba

Masa-masa pencarian jati diri

Masa-masa penuh gejolak

Masa-masa penuh dinamika

Laksana siklus hari

Ia seperti siang hari

Ya semangat siang ................



6 Maret 2006

Aku ingat saat itu aku dalam masa pencarian. Masa-masa ingin tahu banyak hal. Terutama mengenai hakekat kehidupan. Aku seorang perempuan berumur 19 tahun. Setelah lulus dari SMA di sebuah kota kecil di perantauan. Dengan berbekal sedikit kecerdasan aku di terima menjadi mahasiswa di sebuah universitas Negeri di Malang. Aku aktif di sebuah organisasi Pers Mahasiswa (persma). Disanalah aku berbincang tentang banyak hal yang baru bagi duniaku yang sebelumnya sangat monoton. Hampir setiap hari aku menghabiskan malam-malamku dengan diskusi. Sampai kepala ini mau pecah rasanya. Walaupun pada akhirnya aku juga belum puas. Aku merasa semua hal yang mereka bicarakan tentang idealisme dan tetek bengeknya hanya sebatas wacana saja. Pada realitasnya sebagian besar dari mereka tidak pernah menjadikannya sebagai semangat untuk menjalankan kehidupan.

Ketidak puasan itu memaksaku untuk berproses di luar ruangan berukukuran 4 x 5 m itu. Dalam pencarian itu aku singgah di beberapa tempat. Tempat itu orang-orang mengatakan sebagai kampung pemulung. Sebutan itu muncul karena sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai pemulung. Seringkali selepas kuliah aku bertandang kesana. Disana nampak sebagian besar rumah yang ditempati berdinding cukup tipis karena berbahan kardus. Walaupun sudah ada juga yang permanen, namun hanya satu dua dan ukurannya sangat sempit untuk sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang suami istri dan 6 orang anaknya.

Disana aku bertemu dengan beberapa orang. Tapi diantara sekian banyak orang disana aku cukup akrab dengan seorang gadis belia bernama Nurul. Ia kelas 2 SD saat itu, umurnya kurang lebih 8 atau 9 tahun. Nurul lah yang mengajakku berjalan-jalan singgah ke rumah tetangga-tetangganya. Di kampung itu Nurul tingggal dengan Bapak, Ibu dan ke lima adiknya dalam kondisi yang sangat terbatas. Bapaknya sehari-hari bekerja sebagai pemulung barang-barang bekas seperti kardus dan botol-botol bekas. Ibu Nurul juga seorang perempuan yang sagat giat bekerja, tentunya ini bukan permasalahan karir, tapi terlebih karena adanya tuntutan hidup yang sangat terbatas. Beliau berjualan es di teras rumahnya yang hanya berukuran 1 x 1 meter. Keluarga ini cukup ramah ketika aku singgah. Belum ada 5 menit aku duduk beralaskan tikar di ruangan yang katanya kamar tamu, namun yang aku rasa lebih mirip gudang. Aroma pop ice jualan Karsiah, ibu Nurul tercium cukup kuat karena sudah tersaji di hadapanku. Sambil menikmati minuman dingin itu, aku ngobrol ngalor-ngidul dengan Nurul.

Aku senang melihat Nurul, semangat hidup nampak terpancar dari wajah mungilnya. Namun disisi lain, pada usianya yang masih belia ia harus membanting tulang juga untuk membantu kedua orang tuanya. Pagi-pagi benar ia sudah harus bangun untuk membantu ibunya mempersiapkan dagangan. Setelah itu ia bergegas berangkat sekolah dengan membawa tas lusuh satu-satunya berisi buku-buku dan alat tulis yang ia miliki. Tidak seperti umumnya anak-anak seusianya, biasanya sepulang sekolah anak-anak seumurnya bisa nonton TV, tidur siang atau bermain bersama teman-temannya. Untuk Nurul kebiasaan itu tidak berlaku. Ia harus berangkat mengais rejeki dengan bermodal ecek-ecek terbuat dari tutup botol soft drink yang ia buat sendiri dengan suara melodi yang pas-pasan. Ia berjalan dari rumah ke rumah dengan harapan ada yang mau memberikan 100 ataupun 200 rupiah yang mereka miliki sebagai bayaran jasa hiburan yang ia berikan. Tidak perlu berbelas kasihan, karena Nurul melakukannya nampak tanpa beban. Ketika aku tanya, katanya dia senang melakukan pekerjaan itu. Sekalian juga untuk hiburan.

Tidak jauh dari tempat Nurul tinggal, hanya sekitar 50 meter adalah komplek perumahan yang cukup megah. Tapi tidak pernah aku lihat ada yang keluar dari rumah-rumah itu untuk sekedar ngobrol apalagi untuk berderma. Kesenjangan sosial nampak sangat jelas disana. Jaman ini memang sudah sangat terbalik yang kaya jadi semakin kaya, yang miskin jadi semakin miskin. Tanggung jawab sosial yang mestinya diemban oleh setiap individu sudah mulai memudar.

Aku mulai banyak berpikir sejak pulang dari kampung itu, aku masih sangat beruntung tidak dalam kondisi semacam itu. Anak seusia itu harus pula membanting tulang untuk membantu orang tuanya membiayai 5 orang adiknya. Aku merasakan kehidupanku selama kuliah jadi lebih hidup. Walaupun secara finansial aku juga mepet, minimal aku masih bisa bersenda gurau disana.


21 Mei 2006

Saat ini aku menemukan dan singgah di tempat baru. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang aku pikir sosok yang langka kutemui di jaman yang carut-marut ini. Ia bekerja sebagai Pedagang Kali Iima (PKL) buku plus. Plus itu maksudnya, ia merangkap juga jadi seniman dan budayawan. Awalnya aku hanya sekedar ikut nimbrung di forum diskusi bentukannya saja. Aku cukup tertarik pada apa yang dia bicarakan. Orang-orang memanggilnya Aris. Tentunya aku tidak memanggil dengan nama itu saja, aku memanggilnya ‘Mas Aris’. Penampilannya memang cukup mencerminkan citra seniman ataupun budayawan pada umumnya. Rambut gondrong, beranting sebelah dan terkadang bercelana bolong-bolong dengan kaos hitam yang sering nampak ia kenakan.

Sebenarnya awalnya aku cukup takut juga, mungkin yang lebih tepat sungkan mau ngobrol dengan dia. Gimana nggak sungkan gayanya cuek pool…..Walaupun sebenarnya saat kondisi serius dia sangat familiar. Tapi aku cuek saja, memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang cukup lama jadi pertanyaan di kepalaku. Pokoknya kesempatan ini benar-benar ingin aku gunakan untuk proses.

“Mas Aris ya..?”, Sapaku seraya memperkenalkan diri.

“Saya Emil mas, dari Universitas Merak”.

“Oh… dari mana mbak.?”, tanyanya.

“Kebetulan saya aktif di Persma mas”, jawabku menjelaskan asal muasalku.

Selanjutnya, kondisi psikologisku sudah lumayan stabil. Jadilah obrolan yang lumayan panjang dengan pertanyaan seputar forum diskusi yang ia pelopori. Namun Kemudian obrolanpun terpaksa harus aku akhiri. Ketika ada beberapa orang yang datang bertamu ke kios non permanen miliknya. Sepertinya sama-sama seniman kalau dilihat dari penampilannya. Akhirnya karena dia juga harus menyambut tamunya yang baru datang. Obrolan pun aku cukupkan dengan kalimat permisi.

“Terima kasih mas, aku balik ke kampus dulu soalnya ada kuliah “., pamitku memberikan alasan. Seraya menaiki motor merahku yang sudah butut, aku beranjak pergi menuju kampus.

Selama perjalanan pulang ada satu obrolan yang terfikirkan. Dia banyak menyinggung masalah fungsi manusia dan tanggung jawab sosial sebagai manusia. Kondisi yang aku temui saat ini, memang banyak orang yang cenderung berfikir tentang kepentingan pribadinya. Padahal seharusnya kedua tanggung jawab itu harus berjalan seimbang. Aku jadi semakin yakin bahwa persinggahanku di dua tempat itu tidak salah. Aku jadi tahu kondisi realitas sosial yang ada disana.


4 Juli 2006

Perjalananku juga menemukan sesuatu yang umumnya ditemukan perempuan seumurku. Cinta, ya… cinta katanya. Diproses ini menurutku cukup rumit. Banyak benturan dalam diriku. Awalnya banyak pertanyaan apakah rasa ini hadir karena karunia-Nya atau hanya emosi sesaat. Pada proses ini menumbuhkan keyakinan ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Perjalanan ini begitu banyak memunculkan pemikiran. Apa ya, katanya cinta itu adalah segalanya. Entahlah…. mengapa banyak hal yang menjadi tanda tanya besar di kepalaku.

Aku mencoba menelusuri akar munculnya rasa itu. Walaupun kata orang cinta itu tidak bisa dirasionalkan. Karena Cinta itu diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk rasa. Jadi yang bicara bukan rasio tapi hati. Wah…. untuk yang satu ini aku memang tergolong kuper, soalnya aku pikir masalah yang seperti ini ada waktunya sendiri untuk dipikirkan.

Terkadang aku juga masih konservatif untuk urusan cinta. Walaupun aku banyak memperbincangkan tentang feminisme dan kekuatan perempuan, tapi aku cenderung pasrah. Artinya kalau aku lagi ngobrol sama orang tuaku, aku selalu bilang, aku siap untuk dijodohkan asalkan melalui proses dulu, istilahnya diberi waktu untuk saling mengenal. Karena menurutku yang namanya cinta sampai menuju fase pernikahan itu siklus wajar setiap manusia. Yang membedakan hanya esensi yang difahami oleh setiap manusianya. Jadi menurutku bukan masalah orangnya tapi yang penting pemikirannya. Itulah sebabnya kenapa teman-temanku mengatakan bahwa aku termasuk perempuan yang punya kriteria aneh.

Menurutku laki-laki itu menjadi menarik untuk diajak jalan kalau ia punya daya intelektual yang cukup. Semakin pintar laki-laki itu, ia akan nampak semakin menarik di mataku. Sebaliknya menurutku kalau hanya mengandalkan fisik saja, bagiku gak bakalan berumur lama. Ya karena inti dari setiap hubungan adalah pada kualitas manusianya. Kalau masalah fisik menurutku itu bisa dipoles secara instan. Walaupun salah satu temanku juga protes atas pendapatku ini.

“ Kalau memang sudah jelek aslinya, ya tetap saja jelek!”, protesnya.

“ Ya… Memang butuh kecerdasan khusus untuk ngerti pendapatku ini”, selorohku dengan nada bercanda.

Jadilah aku tertarik sama mahluk yang satu ini. Menurutku tidak banyak laki-laki yang punyai pemahaman tentang esensi hidup seperti dia. Ini aku fikirkan secara rasional. Sampai saat ini cukup manis perjalananku berkasih dengannya. Dan aku jatuh hati padanya hanya lewat sebuah puisi yang dia berikan padaku :


Untuk Mutiaraku


Aku mencintaimu sebab Kau adalah manusia

Aku mencintimu sebab Kau adalah wanita

Aku mencintaimu bukan karena parasmu

Aku memilihmu bukan karena materimu

Sebab pengetahuanlah untuk memahami esensi hidup

Sebab kecerdasanlah untuk mencari makna hidup

Dan keikhlasan adalah jalan (sandaran)

Untuk pertanggung jawaban kehidupan



17.00 WIB

Realitas yang aku temui dibeberapa tempat yang aku singgahi benar-benar menjadi sebuah pemikiran. Aku sangat beruntung kalau aku pikir. Diposisi ini aku tidak dituntut untuk menghidupi siapa-siapa, hanya dituntut untuk serius belajar saja. Aku merasa nyaman ada disana bersama mereka, aku merasakan sesuatu yang membuat akal dan hatiku berdialektika dengan sangat serius

Ketika kembali ke kampus kondisi jadi berubah. Aku banyak melihat kondisi-kondisi yang sebaliknya. Kenyamanan yang aku temukan, tidak banyak yang sempat berfikir tentang realitas di luar. Yang aku temukan adalah citra-citra kenyamanan saja. Aku melihat teman-temanku cukup sibuk dengan Hp di tangan mereka daripada sekedar menyapa teman disebelahnya. Lebih asyik mendengarkam Mp3 dengan earphone di telinga daripada mendengarkan diskusi. Lebih banyak mengamati film terbaru apa yang muncul di bioskop-bioskop daripada mengamati realitas sosial di seputarnya. Dosen yang katanya pendidikpun hari ini tak banyak membantu membentuk kami menjadi manusia. Di ruang kuliah yang banyak diperbincangkan sebagian besar hanyalah masalah materi dan kesempatan-kesempatan kerja. Nilai pendidikan yang katanya bisa menjadikan manusia menjadi manusia sejati sudah tidak aku temukan.

Wajar saja akhirnya ketika hampir di setiap profesi ini aku tidak menemukan sesuatu yang mencerahkan, malah menjadikan pikiran semakin suram. Itulah juga alasan mengapa aku mencari ruang diluar kampus untuk memproses diriku sendiri. Sampai saat ini aku memang belum menjadi manusia sejati, tetapi minimal aku sudah melihat realitas manusia-manusia sejati di seputarku. Aku bermimpi suatu saat bisa menjadi seperti mereka. Artinya menurutku pekerjaan dan status sosial bukanlah permasalahan, akan tetapi esensi dari kehidupan itulah yang harus difahami. Karena inilah menurutku ruh kehidupan manusia di dunia. Tanpa itu, semuanya jadi kering dan hampa. Kita hanya akan menemukan kekosongan

Walaupun aku perempuan, aku bukanlah sosok yang menerima begitu saja kondisi yang aku jalani sekarang. Aku masih punya bayangan bisa menjadi perempuan yang punya daya intelektual yang kuat. Tidak berhenti hanya sekedar berbicara mengenai dapur, kasur dan sumur. Aku ingin menjadi kebanggaan anak-anakku kelak. Menjadi sosok yang mereka idolakan, jadi tidak perlu Madonna, Angelina Jolie ataupun Tamara Blezensky yang diidolakan. Cukup ibu mereka yang mereka idolakan. Pada saatnya, aku yakin mampu menjadi seperti itu. Bayangan akan sosok perempuan yang punya kekuatan akal dan hati.. Karena aku pikir tidak banyak perempuan yang mampu mencapai taraf itu. Pada saatnya aku yakin bisa mewujudkannya.

Perjalanan ini masihlah sangat panjang, prosesku akan terus berjalan. Tak hanya di beberapa tempat ini. Mungkin akan banyak tempat-tempat lain yang akan aku singgahi. Mungkin banyak orang lagi yang akan aku temui. Karena menurutku realitas itu sendirilah guru yang sejati.



*Pegiat Forum 28-an Kampung Budaya Malang


PUISI-PUISI: M. NASHIR*

LORONG SRIWIJAYA

(Kampoeng Boedaja Malang)


di sepanjang jalan ini

jerit-jerit anak bangsa

pecahkan kebisuan

geliatnya kan lahirkan petir

menyambar asa yang terkulai lemah

di sepanjang jalan ini

aku kan tetap nyanyikan

lagu sumbang negeri ini

meskipun hujan guyur semangatku

dan terik kuras energiku

dengarlah kau wahai para pendusta

biarpun

telingamu telah kau tulikan

biarpun

matamu telah kau butakan

tapi hatimu akan selalu tergetar

dan lemahkan

langkahmu yang telah gontai

Malang 2004


CERITA TENTANG LAMBAU

(Lemah Tanjung)


Disini dulu aku mencari kayu

Menjadi tarzan,begitu anganku

Sambil bersenda gurau


Disini dulu aku bermain bola

Sambil bercanda

Merenda asa


Disini kini aku berdiri

Menatap ngeri

Kotaku yang kehilangan jati diri


Disini dulu berdiri Lambau

Kini telah berdiri rumah hantu

Sebab kala hujan,semua menjadi galau

Mlg, 2002


TENTANG KESENIAN


Seni terkadang bagai sebuah cangkul

Sebuah alat untuk mengolah tanah,

Ketika telah menjadi subur

Tanaman menjadi indah di pandang,

Keindahan tanaman itupun

Akan menghasilkan materi yang lain.

Jika cangkul hanya di pandang

Sebagai cangkul di mana letak fungsinya?

Malang 2008

*Budayawan Malang dan Pemilik Toko Buku Poestaka Rakjat

Minggu, 01 Maret 2009

Puisi-puisi: Liza Wahyuninto

(http://selamatpagiindonesia.wordpress.com)

Gadis Kecil Gesek Luka Ku

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini masih berlagak diri seolah sembilu
Balut lukaku yang semakin membiru
Pantangkan diri tuk mengharu

Bak mawar ia tengah merekah
Malu hendak ku sentuh kelopaknya
Atau sekedar mengerling merahnya
Karna ku tahu ia takkan tanggung marah sang duri

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini mulai berceloteh tentang pesta menyambut pagi
Nyanyian periang di tengah sepi
Meskipun ia sering teriris sembilu

Bak gendang ia mendendang
Lagu bimbang di tengah gersang
Jengah hendak ku pangku ia
Tak pantangkan baginya terantuk galah

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini berdiri tegak di hadapanku
Tubuhnya membiryu, bibirnya membisu
Rebahkan diri ke pelukanku
Sembari berbisik “maafkan daku”

Malang, 12-13 Juni 2008

Parade Menjemput Mimpi

kan ku elus alismu
cepatkan memimpi menepi
kan ku tiup matamu
pengusir mimpi buruk yang memburu

begitu anggun kau dalam lelap
tanang dalam keheningan
ku tahan napasku
biar mimpi tak berlabuh

malang 05 Juni 2007

Aku Menulis Lagi

Aku menulis lagi

Melupakan Nil yang pernah ku sebrangi

Melupakan Himalaya yang pernah ku daki

Melupakan Amazon yang pernah ku susuri

Aku menulis lagi

Tentang cinta yang tak kunjung menyapa

Tentang hati yang tak jua terpaut

Tentang jiwa yang tak pula berhenti resah

Aku menulis lagi

Tentang pertemuan sebatas mata

Tentang percakapan sebatas senyum

Tentang lidah kelu tak berkata apa-apa

Aku menulis lagi

Dan tak kan berhenti menulis

Hingga ada kerling mata menjelma sapa

Hingga senyum menjelma tanya

Aku menulis lagi

Dan kan terus menulis

Walau Nil sudah mengering

Walau Himalaya merata tanah

Walau Amazon tak lagi bertumbuh ilalang

Aku menulis lagi

Hingga aku mati dalam sepi

Malang, 05 September 2008

Jumat, 27 Februari 2009

Cerpen: Azizah Hefni

PINTU YANG TERKUNCI
Pemenang II Lomba Menulis Cerpen Kepemudaan MENPORA dan CWI 2007


Ia pergi dengan gayanya yang gagah. Tangannya meraih kemeja dan celana, lantas mengenakannya. Ia sisir rambutnya, ia tuangkan minyak pelicin di atasnya. Laki-laki itu meraih jam tangan di meja sisi ranjang tempatku rebah, menyemprotkan minyak wangi, memungut tas, dan memakai sepatu. Tanpa menolehku yang pura-pura terpejam, ia membuka pintu terkunci itu. Tak ada bunyi derit. Cukup halus ia membuka dan menutupnya. Barulah suasana tenang. Seperti lautan yang sepi gulungan ombak. Seperti pasar yang jelang petang. Seperti sekolahan yang ditinggalkan para siswa.
Aku beranjak, membuka selimut yang sedari tadi menutupiku. Selimut ini kugunakan untuk mendukung peranku di hadapan laki-laki gagah tadi. Aku selalu berperan sebagai perempuan yang masih nyenyak dengan rangkaian mimpi bila menjelang pagi. Padahal aku melihatnya berkemas, melihatnya bergegas. Sampai dia berlalu dari balik pintu terkunci itu. Sampai kudengar deru motor dari luar rumah. Sampai kurasakan sepi panjang kembali hadir di rumah ini.
Langkah lemah. Berkali-kali aku mendesah. Semalam aku telah selesaikan tugasku lagi. Setelah beberapa malam lalu aku juga telah selesaikan tugasku. Sungguh aku letih, aku perih. Tubuhku makin banyak deret-deret luka merah muda. Di leher, bawah puting, punggung, dada, selakangan, dan kemaluan. Laki-laki itu masih tetap dengan gaya harimau buas menyerangku. Ia lupa, bahwa sebetulnya aku adalah kayu apung di atas lautan. Tak bisa apa-apa, tak tahu apa-apa. Mungkin dalam matanya aku adalah rusa gemuk, sehingga ia menyantapku puas-puas, mengulitiku, mencucup keringatku, menyedot energiku, membobol isi perutku dan membuat garis-garis darah tertahan di punggung dan leherku. Tak hanya itu, ia merenangi sumurku yang berlumut tak sudah-sudah. Seribu kali aku mengerang, seribu kali pula ia berganti gaya. Aku nyaris pingsan, tapi ia memintaku bertahan.
Di depan sebuah cermin, aku melihat diriku yang telanjang. Tubuhku banyak goresan, banyak darah-darah tertahan. Paling banyak di bagian kemaluan. Mataku berat dan serat. Aku seperti gunung yang mual dengan panas dalam tubuhku. Dalam tubuhku, cairan mendidih. Sementara tubuhku amat letih, tak bisa menahan rasa nyeri dan mual yang kian memutih. Kutatap diriku yang sayu dalam cermin. Tatapan mataku redup. Bibirku pucat. Nafasku terengah. Beberapa jenak aku jatuh sampai membentur cermin. Tubuhku tergeletak begitu saja. Sebelumnya, aku sempat melihat air mataku menetes dua butir. Setelah itu gelap. Gelap yang sungguh pengap.
* * *
Jam dinding di kamar masih terus menambah angka. Sedang ruangan berpintu itu masih berdiri dengan angkuh. Waktu dan ruangan seolah-olah berkolaborasi mempermainkanku. Hari-hariku tetap saja hambar. Tak ada tambahan warna atau rasa baru. Semuanya seperti ini. Hitam. Putih. Hitam lagi. Putih lagi. Padahal, berapa banyak sebenarnya warna yang ada dalam plastik kehidupan? Bukankah hidup adalah ragam? Pilihan? Aku tak tahu, kenapa nasibku begitu angkuh. Ia tak izinkan aku memilih apapun. Aku tetaplah perempuan dalam ruangan, menunggu detak-detak waktu yang terus melangkah tanpa bosan, menunggu laki-laki gagah itu pulang dari kerja, dan memintaku rebah di atas tempat tidur dengan telanjang. Sementara pintu itu tetap tertutup. Seolah ada yang menguncinya dari luar. Padahal kunci di lubang pintu masih menggantung. Aku bisa saja membukanya sekali waktu. Tapi aku selalu menyaksikan Mikail mengawasi gerakanku. Siap menyerang bila berani lewati batas pintu.
Kuobati luka memar akibat cakaran atau goresan kuku panjang laki-laki gagah tadi. Sesekali aku merintih pelan, sesekali aku sontak tersentak karena nyeri. Bahkan sesekali aku terpaksa menangisi tubuhku yang kian terluka. Ia melemparku tiap pagi serupa melempar handuk dari bahunya. Ia memungutku tiap malam serupa ia memungut air dalam gelas karena haus. Ia membiarkanku sepanjang siang dan sore, serupa ia membiarkan asap keluar dari lubang knalpot motornya. Entahlah, sebenarnya ia anggap aku apa. Apakah sebagai perempuan yang menyandang gelar istri atau cuma sebuah benda? Benda yang tak bersuara. Benda yang terkunci di balik pintu ruangan yang angkuh.
Telpon berdering. Tubuhku yang terbalut kain tipis sedikit terkejut. Apakah laki-laki gagah itu yang menelponku? Ataukah orang lain? Kotak obat-obatan kuletakkan. Aku bergegas menuju meja telpon.
“Hallo?”
“Ini aku, Gesti”
Aku mengangguk. Dia tetanggaku. Aku selalu melihatnya keluar rumah setiap pukul tujuh pagi. Ia pekerja keras. Posturnya yang cantik membuatnya diterima bekerja pada sebuah hotel bintang lima di kota. Rumahnya tepat di depan rumahku. Pernah aku beberapa kali berbincang dengannya di daun jendela. Saat itu ia memintaku untuk keluar supaya bisa berbicara dengan bebas. Tapi aku mengatakan, kalau ruangan yang kuhuni adalah ruangan yang angkuh. Pintu tak pernah mau terbuka. Ada penjaga—walaupun entah apakah itu—yang berdiri dan selalu mengawasi gerakanku.
“Aku melihat suamimu bersama dengan seorang wanita ke restoran hotel tempatku bekerja”
Jantungku tiba-tiba berhenti. Tak hanya jantung, semua organ yang berdenyut seperti memberikan kesempatan waktu pada otakku untuk terkejut. Tapi, sepanjang pikiranku berjalan, hanya menemukan gang-gang buntu. Aku tak bisa pikirkan apa-apa lagi. Hanya hatiku yang tiba-tiba tercekat, merasakan sesuatu yang berat.
“Dan...dan aku...” Gesti menyetop kata-katanya. Aku menunggu dengan ketegangan luar biasa. “Aku melihat mereka sangat mesra. Bahkan...” ketegangan itu memuncak. Aku seperti narapidana yang mendengarkan keputusan hakim tentang sebuah hukuman mati. Satu-satu varian tubuhku melonjak ketakutan. Inilah ketegangan yang melahirkan sepi. Sepi yang siap dengan udara luka masuk di setiap sudut jendelanya. “...mereka memesan sebuah kamar di hotel itu...”
Tit! Aku mematikan benda yang menghadirkan suara Gesti. Barulah kurasakan semuanya berputar-putar, mengaduk-aduk isi tubuhku sampai datar. Baru sekali ini aku mendengar kalimat baru. Kalimat yang kejam. Langit siap copot dari atap yang menggantungnya. Aku nyaris jatuh pingsan seperti tadi pagi. Tapi lagi-lagi, aku tertahan sesuatu yang bulat dari bilik nuraniku. Itu adalah kumpulan diamku menilai hidupku pasca pernikahan. Ketidakmengertian, kepasrahan, ketidakberdayaan, kelemahan...Benar, semua menumpuk membentuk bulatan-bulatan kasar serupa batu bayangan dalam ruanganku (ruanganku ini memang dipenuhi batu abstrak sehingga membuatku sulit bergerak). Aku ingin muntah. Aku tak betah.
Tumpahlah. Segalanya menjelma aliran air dari mata yang tak punya muara. Ini lebih deras dari tsunami yang melipat ratusan hektar daratan. Lebih sakit dari seribu izrail mencabut ruh jiwa yang menggigil. Kesakitan apakah. Ketidakmengertian apakah. Ya Tuhan, bau neraka sepertinya sudah mulai masuk ke dalam cuping hidung sempitku. Dia tak sekedar melemparku seperti handuk dari lingkaran lehernya, ia sekarang memotong-motong tubuh lusuhku untuk dijadikan alas kaki atau penghilang debu.
* * *
Pintu masih terkunci. Ini kali pertama malam tanpa laki-laki gagah. Pintu masih diam dengan keangkuhannya. Ia sama sekali tak iba melihatku menangis sendiri. Sebab laki-laki gagah tak datang, makin gelisahlah aku. Layaknya gelombang lautan, aku bergulung-gulung meruntuhkan diri. Diriku adalah manusia yang terbentur berbagai macam perasaan, pikiran, dan peristiwa. Semuanya tak pernah kumengerti. Satupun tidak. Aku hanya mengerti, bahwa laki-laki gagah memerintahku untuk diam di dalam rumah, menyediakan makanan dan minuman, membersihkan perabotan, menunggu pagar terbuka dan pintu kamar angkuh itu melebar. Aku juga hanya mengerti bahwa setiap ia memintaku untuk rebah di atas ranjang, wajiblah bagiku rebah. Tanpa gerakan penolakan apalagi perlawanan. Sudah kewajiban, begitu ia menjelaskan. Bahwa seorang perempuan yang dalam sarang laki-laki adalah budak. Budak yang harus menahan sakit dan lelah.
Semua kuanggap amat sakral. Seolah ada jagal siap memotong leherku bila aku meronta. Aku tak punya siapa-siapa sebagai labuhan. Aku hanya punya sepi yang terluka ini, dalam ruangan berpintu yang selamanya terkunci untukku ini. Aku istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Dan ia katakan, kalau fungsiku adalah sebagai penafkah batinnya. Cuma itu, tak ada yang lain.
Sampai malam berkemas dan pagi menyongsong lekas. Laki-laki gagah tak juga datang. Pikiranku kian mengambang. Aku ingin membuka pintu yang seolah terkunci itu dan mencarinya. Apakah benar laki-laki gagahku masih bersama perempuan asing dalam kamar hotel? Dunia ini ada untuk dikendalikan, tapi setiap kisah yang terbentang di wilayah duniaku seperti mengendalikanku. Aku tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan. Entah karena statusku, entah karena ketakutanku sendiri. Tapi ketahuilah, aku sungguh khawatir. Khawatir laki-laki itu benar-benar akan meludahi namaku sebagai manusia!
* * *
Malam kedua, ketiga dan keempat. Baru malam ini, malam keempat, tiba-tiba aku mendengar suara pagar rumahku terbuka. Aku bangkit dan mengenakan pakaian setelah separuh hari telanjang. Gores-gores luka akibat cakaran kasar laki-laki gagah itu sudah mengering. Kulitku kembali padat. Kemaluanku kembali rapi. Selakangan juga sudah tak mengeluarkan darah tertahan. Sementara aku merasakan suasana ringan karena tak ada lagi lelah. Kuintip sumber suara dari balik jendela. Kulihat laki-lakiku pulang dengan motornya. Wajahnya tetap sangar. Matanya tetap menyembunyikan benda tajam. Aku menutup tirai dan duduk tegang di bibir ranjang.
Pintu terkunci itu terbuka. Laki-laki gagah dengan tas punggungnya berdiri tegap di tengah lubang keluar masuknya udara. Ia menatapku lama. Aku menunduk.
Tak seperti biasanya ia berjalan lemas. Ia lempar tas dan sepatu. Tanpa sepatah katapun, ia mendekati ranjang. Aku terpejam. Menunggu pecah sesuatu yang bungkam. Sementara pintu perlahan-lahan tertutup. Sejujurnya karena angin, namun aku kira karena ulah Mikail yang siaga di depan pintu. Ia rebah begitu saja. Pejamkan mata begitu saja. Mendengkur begitu saja. Tanpa bilang, “Bersiaplah, buka pakaianmu! Layani aku dengan baik!”
Aku menelan ludah.
* * *
Laki-laki gagah tak pernah menjadikanku santapan makan malamnya lagi. Hari-hariku terasa begitu longgar. Tapi kelonggaran ini bukan malah membuatku bebas bernafas. Makin banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Apakah laki-laki gagah sudah mulai merasa kalau selama ini ia telah melukai tubuhku? Kenapa ia tak pernah berbicara denganku lagi? Kenapa dia tak melihat ulahku lagi?
Dunia ini memang selalu bergeser dan berubah. Seperti waktu, ia melangkah mencari hal dan suasana baru. Tak ada yang tahu ada apa dengan esok, nanti malam, nanti sore, beberapa jam kedepan, atau bahkan beberapa detik kemudian. Semuanya bergeser tanpa suara, membuat makin linglung manusia-manusia. Lantas apa tugasku? Bukahkah ia bilang, tugas perempuan dalam sangkar laki-laki adalah pelayan? Budak? Bila tak lagi difungsikan, lantas?
Nampaknya aku diubahnya menjadi seonggok benda tanpa guna.
Malam ini, aku heran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba menghardikku. Ia menjambak rambutku, menatapku dengan hunusan pandang beracun. Aku terbata, tapi masih bisa bertahan. Kakiku tak selemah dulu. Kakiku kuat menyangga tubuhku. Beberapa hari ini, luka di tubuhku memang memulih. Dan aku rasakan aku sedikit semangat.
“Kau sudah tidak berguna!” Kurasakan percikan ludahnya masuk ke telaga mataku yang gugup. Bau alkohol busuk membuatku mual. “Pergi sekarang!!”
Tanpa tahu apapun, ia memerintahkanku pergi. Ia melemparku ke lantai. Sampai kepalaku membentur tembok. Sampai kakiku membentur ranjang. Sampai tanganku membentur meja rias. Darah mulai mengalir lagi.
Akhirnya, sekalipun tersengal, aku mencoba berdiri. Matanya yang meradang kulawan dengan keluguan air mata. Kukatakan, “Kenapa kau menyuruhku pergi? Apa memang begitu aturannya?! Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa aku harus menjadi penghuni tetap ruangan ini, sekalipun kau berangkat bekerja?! Pintu itu selalu mengunciku, dan aku selalu terima dia mengunciku!”
“Ya, aturannya memang begitu! Kau sudah bebas pergi dari sini! Bahkan aku memerintahkanmu untuk tak kembali ke rumah ini!!”
Maka, untuk pertama kalinya, aku melewati pintu yang mengunciku selama setahun itu. Aku diusir laki-laki gagah dengan begitu tak manusiawi. Bibit dendam muncul pada mata batinku yang telah ia lukai. Aku baru tahu, kalau cinta tak pernah kukulum selama ini. Yang kukulum adalah kepasrahan yang selalu ditertawakan kegagahannya!
* * *
Tapi setiap malam aku mengintai rumahku. Dengan taksi atau mobil tumpangan tetangga baruku, selalu kuselipkan mataku pada dinding rumah bercat coklat. Selalu ada motor itu. Selalu ada sandal itu. Selalu ada cahaya lampu itu.
Pertemuan dan perpisahan tidak pernah berada dalam jalan yang sama untuk bisa saling menjelaskan keduanya. Ia datang pergi seperti angin. Ia tinggalkan kotoran atau emas dalam tungku tanpa mengatakan untuk apa. Aku dipertemukan dan tiba-tiba dipisahkan. Tanpa ada kejelasan kenapa aku dipertemukan dan kenapa aku dipisahkan. Semuanya menjadi garis nasib yang cukup kejam untukku, entah untuk laki-laki gagah itu. Aku selalu ingat ulah binatang bila melihat laki-laki gagah keluar dari pintu yang terkunci. Kucing yang bersetubuh di jalan, ayam yang bertahi di jalan, sapi yang kencing di jalan dan sebagainya. Wanita yang ia rengkuh bahunya itu diizinkannya melewati pintu yang terkunci. Ia juga diizinkan untuk berjalan-jalan di sebuah pasar swalayan atau diskotik kota. Kukira ia telah memiliki ragam warna. Ia telah mengenal merah, hijau, kuning atau bahkan campuran-campuran. Matanya senantiasa berbinar, kulitnya masih padat dan halus. Aku yakin, tak ada darah di sekitar tubuhnya setiap kali usai melaksanakan tugasnya melayani laki-laki gagah. Ada perbedaan perlakuan. Dan perbedaan itu justru ada pada jenis manusia yang sama. Perempuan. Wanita. Aku dan wanita itu
Dia jauh lebih cantik. Jauh lebih muda. Benar, setiap hari aku mengawasi keduanya. Setiap hari aku mencari jawaban atas nasib yang selama ini kuterima. Aku selalu pulang dengan hal baru. Hal yang tak pernah kutahu sebelumnya.
Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah miliknya.
Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi.
Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan yang merubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi. Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru!
SELESAI

Malang, 01 September 2006

Puisi-Puisi : Ragil Sukriwul

(www.ragil-sukriwul.blogspot.com)


Lagu Tidur

Tidur tidurlah
esokkan datang bersama
matahari yang sinis dan angin masam
Tidur tidurlah
esokkan mampir dengan senyum
ribu batu dan debu
Tidur tidurlah
lelapkan semua mimpi
tentang dongeng esok hari

1999

Ina-ama Umbu-rambu

Di bawah terik sang surya
di atas gersang tanah
batubatu karang dan hamparan pantai
Aku mulai bernafas dan merangkak
berlari bersama Umbu tak lupa Ama merangkul
disanding Ina dan merdunya senandung Rambu
kami berlagu hingga rumputan kering menyegar
menatap keharmonisan itu
Tiba tiba atau mungkin perlahan
kabut pekat menggiring buta sepasukan
awan hitam yang menyirami bumi dengan
angkara bersama kebengisan purba
Rangkulanku renggang terkoyak kepal kayu
nyanyianku tersamar tertutup hati batu
saling menatap gamang kita terpaku kaku
Adakah itu keinginan? Hingga memerah alangalang
O sang maha kuat tendanglah badai ini
usir kepekatan ini
Mari kita hembus nafas perlahan
tenangkan angin
Ama, teruslah berlari umbu kan songsong
dan kita terus berestafet sampai akhir garis
Ina, bawalah selendang seka peluh dan
bersamamu Rambu tuak manis lepas dahaga
kita raih bersama itu kemenangan
dalam kesabaran

20 juli 1999 (pasca kerusuhan Kupang)

Mendekonstruksi Sentralisasi Sastra

Oleh Yusri Fajar

(Penyair dan Pengajar Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang)

( http://jiwasusastra.wordpress.com)

Prolog

Eka Budianta, pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga dikenal sebagai penyair, menuturkan bahwa ketika umur 15 tahun, dia telah berkenalan dengan komunitas sastra di Kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (IKIP, sekarang Universitas Negeri Malang). Sebulan sekali di Perguruan Tinggi tersebut diadakan pembacaan puisi, pentas teater dan diskusi sastra dalam acara malam purnama. Saat itu dia berkenalan dengan para sastrawan Malang yang punya nama nasional seperti alm. Hasjim Amir, Jasso Winarto, dan Henri Suprianto yang mengajaknya berlatih membaca puisi dan pentas. Menurut Eka, sejak dulu kala, kota Malang sudah punya sanggar seni lukis, seni tari dan kelompok-kelompok baca puisi.

Awal tahun 2001 di Universitas Muhammadiyah Malang, saya pernah menghadiri acara bedah puisi yang didahului dengan pembacaan puisi oleh beberapa peserta yang hadir. Pembicaraan tidak hanya terpusat pada apresiasi teks puisi baik dari aspek instrinsik maupun ekstrinsik namun juga melebar pada diskursus determinasi dan resistensi komunitas dalam kaitannya dengan proses kreatif. Saya melihat ada kegairahan dari para pegiat sastra yang datang meski saya juga sekaligus mempertanyakan sejauh mana kegairahan itu akan terus menyala. Di forum itu saya bertemu dengan penyair muda Malang, Ragil Sukriwul, dan pegiat teater jebolan ISI yogyakarta, Jumali, yang dua-tiga tahun berikutnya sering saya jumpai dalam diskusi-diskusi pasca pentas teater dan beberapa event sastra dan budaya lainnya di Malang.

Tahun 2004-an di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya, saya bersama beberapa mahasiswa membidani kelahiran komunitas kesenian bernama teater O ( kini berubah nama menjadi teater Lingkar) yang pada perjalanannya tidak hanya berkonsentrasi pada proses kreatif berteater tetapi juga bersastra. Beberapa kegiatan pembacaan puisi, bedah prosa, menghadirkan sastrawan, sampai mengadakan sayembara penulisan puisi pernah dilakukan. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang bergiat di komunitas tersebut pada perjalanannya juga mampu mempublikasikan puisi-puisinya di media masa. Geliat komunitas sastra selanjutnya saya temukan di kegiatan “arisan reboan (karena dilakukan malam rabu)” di Unibraw, yang di dalamnya berkumpul para pegiat teater dan pegiat sastra yang saling bergantian membaca puisi, bikin short performance, dan juga menggelar diskusi. Sastra saya lihat menggeliat di sana meskipun pada dasarnya geliat itu tak harus bertumpu pada ada dan tidak adanya sebuah komunitas.

Menurut saya, jika sastra ingin dimasyarakatkan dan ‘dibudidayakan’, gelombang sastra terpusat, bertumpu pada wilayah-wilayah tertentu, dan terlalu bersandar pada eksistensi para sastrawan tua atau yang sudah punya ‘nama’ sudah saatnya ‘dideskontruksi’. Karya sastra bisa lahir dari siapapun dan manapun termasuk dari wilayah yang tak dilihat dan kurang diperhitungkan. Di tengah hutan rimba yang jauh dari keramaian bisa jadi banyak bunga bagus dan menakjubkan, tetapi karena tak ada orang yang melihat maka bunga dan tanaman tadi tak terekspos keluar meskipun pada hakekatnya ia tetap sebagai ciptaan yang indah dan bagus. Karya bagus bisa lahir dari penulis tak terkenal dan dari daerah yang diremehkan. Kualitas karya juga tak bisa digaransi seratus persen oleh usia pengarang. Oleh karena itu gelombang dan geliat sastra itu harus dilihat sebagai kontruksi yang bisa hidup di berbagai habitat manusia dengan wilayah menyebar.

Namun ‘dekonstruksi’ sentralitas sastra dan penggairahan kehidupan sastra di wilayah-wilayah ‘terpinggirkan’ dari peta besar sastra sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Gerakan dan karya-karya sastra pedalaman yang sempat menarik perhatian karena semangat “revitalisasi sastra pedalaman” misalnya, sebagaimana diungkapkan Faruk, ternyata tak memiliki perbedaan signifikan dengan karya-karya dari pesisir dan tak mampu melahirkan revolusi bersastra dan cara berkesusastraan yang mandiri. Bahkan menurut pengamatan saya kini sastra pedalaman sedang mengalami hibernasi. Secara kultural bisa dikatakan belum mengakar dan belum mampu mendorong perubahan signifikan. Terlepas dari penilaian ini, minimal sastra pedalaman telah meletakkan pondasi untuk melakukan counter hegemoni dan melecut generasi mutakhir dari daerah-daerah untuk terus bereskplorasi meski ‘politik ordinasi dan subordinasi’ terus membayangi.

Post-modernisme memang mengisyaratkan sesuatu yang menyebar, tidak terpusat dan terkungkung mainstream tertentu. Dan menurut saya, di negeri yang plural seperti Indonesia, sesuatu yang terpusat dan seragam justru memang sangat kontraproduktif dengan hakekat keberagaman dan keserbamungkinan cara bersastra. Oleh karena itu warna dan gelombang sastra dari berbagai daerah dengan penulis-penulis muda perlu dibaca dengan seksama.

Memintal karya ‘tanpa sentral’?

Perjalanan panjang dunia kesusastraan diwarnai konstruksi dan dekontruksi dalam lingkaran aliran sastra pada setiap zaman berbeda. Strukturalisme dan post strukturalisme, humanisme universal dan realis sosialis-revolusioner, sastra tekstual dan kontekstual, absurditas dan realitas-empiris, mencatatkan tensi-tensi ketegangan yang meramaikan dan memperkaya dunia sastra. Posisi para penyair dalam menanggapi fenomena lokal dan global di sekitarnya begitu beragam dan sepertinya mereka masih berada pada konteks pencarian ‘diri’ sehingga tidak mengherankan jika terjadi mimikri di sana -sini dan terdapat banyak kutub sastra.

Dunia subjektif individu dan teologi sastra “sufistik” misalnya, adalah dua buah warna yang dalam periode sastra pernah menjadi sentral dan hingga kini masih banyak penulis yang menjadikannya sebagai kiblat. Kecenderungan pertama mengkoptasi puisi sebatas struktur dan permainan semiotika, mistisisme linguistik belaka. Konteks hanyalah sumber dari penanda dan petanda bahasa. Sementara sastra sufistik membangun kontemplasi atas kekuatan supreme di luar diri manusia. Domain vertikal begitu kuat sehingga terkesan menegasikan relasi horizontal kontekstual. Realisme sosialis revolusioner menjadi kehilangan tempat pada puisi-puisi teologi profetik semacam yang ditulis oleh Abdul hadi WM, Amien Wangsitalaja, dan beberapa lainnya. Di barat, T.S. Elliot, meski dengan basis dan persperktif berbeda, mengesplorasi sesuatu yang ‘metafisis’ yang secara semangat memiliki kesamaan. Lalu bagaimana membaca karya sastra sastrawan-sastrawan muda Malang?

Karya-karya beberapa sastrawan muda Malang sepertinya tengah berada pada kisaran pencarian (eksperimentasi) stereotype estetis dan isi dalam dialektika latar perkembangan sastra yang melingkupinya. Hal ini wajar mengingat sejarah panjang kesusastraan Indonesia tak bisa dihindarkan dari warna ‘kolonial’ yang melahirkan kekuasaan sentral. Mimikri menjadi bagian reflektif dari memori sadar dan alam bawah sadar pengarang atas konstruksi mapan yang datang sebelumnya. Terlebih lagi dominasi dan berbagai gaya sastra, dengan dukungan kekuasaan media yang teramat sulit dihindari oleh mereka. Karena itu, dari pembacaan berulang dan seksama, saya dihadapkan pada peta tak purna dari ‘kemutakhiran’ karya-karya mereka. Peta yang menuntut kontinyuitas penelusuran ulang. Namun demikian, karya-karya sastrawan muda Malang perlu dikritisi dan didekati dengan perspektif objektif agar realitas-realitas yang saya sebutkan di atas tidak mereduksi subtansi kekuatan karya mereka.

Puisi-puisi Abdul Mukhid penyair muda Malang yang terkumpul dalam antologi tunggal “Tulislah Namaku dengan Abu” (2006) mengantarkan saya pada pengembaraan sastra “tanpa pusat”, tanpa mainstream, melanglang buana dari satu ruang ke ruang lainnya tanpa pernah berlama-lama di salah satunya. Mukhid suatu kesempatan terkesan subjektif, berasyik mansyuk dengan eksistensinya sebagai upaya membangun dialektika sunyi; seperti terlihat dalam puisi-puisinya yang berjudul Tulislah Namaku dengan Abu, Dialog imajiner Dengan Caligula, Catatan Sepi 1, 2, 3, Tanda Tanya Agung. Tapi dalam puisi lainnya Mukhid justru menebar kontekstualitas sosio-politik-kultural dengan diksi lugas seperti dalam puisinya, 56 Tahun Indonesia (Masih) Cemas dan Berdamai dengan Kenyataan. Sementara di sudut lainnya, sentuhan teologi ketuhanan Mukhid terekam dalam Tuhan Maafkan Aku, Tak Semua dan Bukalah Bilik Hatimu. Mukhid sepertinya ingin berkelana dalam beragam genre, meski mungkin tak disadarinya. Sebuah pilihan berpuisi yang merdeka meski tanpa ciri. Cara berpuisi Mukhid hampir merambah sebagian besar penyair muda Malang yang karyanya pernah saya baca.

Ragil Sukriwul ‘mendekontruksi’ lokalitas dengan menabur beberapa diksi bahasa Inggris ke dalam puisinya yang sebenarnya mayoritas dia tulis dalam Bahasa Indonesia. Bagi saya, Ragil ‘tak menganggap’ petanda ‘global’ sebagai ancaman yang akan memarginalkan warna bahasa lokal (Indonesia) dan pemaknaannya. Ada kesadaran dan keberanian untuk mengelaborasikan petanda lokal dan global dalam puisi karena batas budaya telah remuk dalam desa global (global village). Salah satu puisinya berjudul “Lost”, dan puisinya yang berjudul “Jangan Kartu Pos I” berisi petanda global (Bahasa Inggris) yang saya maksudkan.

……………………………

Berceritalah tentang perutmu yang masih saja berteriak

Meski telah disumpal senampan Pizza, tentang jemari

Telunjukmu yang berungkali tersayat karena ngotot ingin

Masak

Sendiri,

(Juga biografi lelaki negeri mana saja yang pergi dan datang di kencanmu)

Ceritakan saja meski selarik puisi.

I was there…! I’m very Happy!” teriakan asingmu ini

Hanya jadi

Barisan abjad-abjad penuh cemas di sini

Jangan kirim kartu pos lagi: benci!

Kirimkan saja aku perih.

Lebih jauh, dengan gaya bangunan struktur dalam beberapa puisinya yang seperti mengajak kita untuk kembali melihat karya penyair Amerika E.E. Cumming dan penyair Sutardji Calzoum Bahri, Ragil juga sepertinya ingin meletakkan struktur bukan sebagai beban dalam berpuisi. Kata bisa digeser, ditata horisontal, vertikal, miring, dan tak lurus-rapi. Namun yang membedakan Ragil dan Sutardji adalah bahwa sebenarnya Ragil tak sepenuhnya ingin membebaskan kata dari makna sebagaimana Sutardji. Lihat saja dalam beberapa puisinya, seperti Di Antara yang Datang dan Pergi dan Menggambar Bulan, Ragil nampak masih bersetia dengan relasi makna dalam kata yang merajut puisinya.

Tegar Prajaksa, Penyair muda yang sedang kuliah di jurusan sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang, mendekontruksi struktur kata dalam puisi dengan melakukan pemecahan dan penyatuan suku kata sebagaimana dilakukan oleh penyair sekaligus pelukis dan pemahat Jerman Kurt Schwitters (1887-1948). Tegar melakukan dekonstruksi itu dalam puisinya Kontemporer Cinta. Tegar lalu dengan liar juga mendekontruksi sistem kultur ‘tabu’ dengan menghadirkan kata vagina dalam puisinya: Rengek Bocah Lima Tahun. Meski dalam banyak puisinya Tegar cenderung membawa kata dalam permainan strukur bebas, ia ternyata juga tak melepaskan diri dari godaan konteks di luar dirinya sebagai muatan yang mendahului penciptaan. Puisi Berjudul Lapindo, yang hanya berisi huruf 0, dan Hamid Mencari Iskandar bisa menjadi bukti.

Sementara dalam dunia prosa, nampak dalam cerpen Corry Atur, cerpenis perempuan yang masih muda dan sedang kuliah di Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang, ketegangan mitos dalam tradisi dan elemen modernitas justru berusaha dikolaborasikan dengan tujuan menghadirkan bentuk yang tak terpusat. Ada upaya membangun ‘ideologi’ yang tidak semata-mata berkiblat pada tradisi dan juga tidak serta-merta mengagungkan keilmiahan ‘modernitas’ dalam salah satu unsur sastra (literary devices). Corry yang telah lama tinggal di Malang memang menggunakan tradisi, dalam hal ini pernik-pernik mitologi, untuk membangun cerita dengan atmosfer modern. Folklore tentang Coban Rondo (salah satu tempat wisata di Malang) misalnya, yang dia hadirkan untuk menawarkan benang merah cerita yang dia tulis menunjukkan relasi kutub sastra sehingga tercipta medan magnit antar satu dengan yang lainnya. Hal ini sungguh menarik karena dalam wacana post-modernisme dua entitas yang begitu berbeda dimungkinkan bisa menjadi sumber inspirasi yang justru saling melengkapi, mengisi, bahkan mendekonstruksi.

Dengan begitu proses kreatif bakal mendapatkan ‘kebebasan’ dan keliarannya, seperti penggalan puisi Skizoprenia karya Miza, penyair dan mahasiswa di Program Bahasa dan Sastra Unibraw.

…………………………

Dalam keliaran dan kegilaan

Sesungguhnya tangis tak henti

Mendera

Lalu dengan sengaja

Mengapungkan diri di tengah laut

Biar dikoyak-koyak hiu

Epilog

Saya tidak berpretensi bahwa pembacaan saya atas beberapa sastrawan muda Malang tersebut di atas sudah representasif. Identifikasi dan pemetaan sastra di Malang membutuhkan proses yang tidak sekali jadi. Di luar itu, upaya untuk menjadikan gelombang sastra di Malang sebagai bagian revitalisasi dan perayaan sastra perlu terus mendapatkan apresiasi dan dukungan. Sastra yang terpusat dan dipusatkan, berada di atas menara gading dan menegasikan potensi sastra di daerah-daerah akan menjadikan berbagai kemungkinan kreativitas menjadi ‘terbatas’.

Sengkaling, Malang, Desember 2007