Minggu, 15 Maret 2009

Puisi: Frida Kusumastuti*

SAJAK 7 BULAN PENGEMBARAAN

(http://www.bestari.umm.ac.id)

1

Akan ada suatu kepastian

2

Teringat saat itu

Begitu tangguh walau melalui perbukitan terjal

Harapan tak memudar walau hati bergetar

Ada hantu yang berlalu lalang

Tetapi kita menjadi kuat menghadang

Saat ini,

Apalah arti hanya mendaki sendirian

Walau hantu tak lagi gentayangan

3

Di antara dua waktu

Aku selalu menunggu

Mungkin kini, mungkin esok

Sementara itu…

Waktu yang lalu tinggalkan jejak

Seolah kini dan esok gak perlu ditunngu

Engkau tinggal menuju

Di sana telah ada jamuan sepanjang waktu

4

Masih ada sinar

Lewat ujung jari yang memutih

Tapi kenap jari-jari ini semakin banyak berkerut?

Kering keriput seolah begitu uzur

Begitulah waktu telah letih menunggu?

Begitukah jarak telah jauh menghubung?

Layarpun semakin redup

Kacanya buram oleh jari keriput

Harus kujemput sebelum berlarut

5

Keagamaan menyambut

Tiada elan saat menatap

Berceloteh jauh hal di luar

Rasanya kaki tidak di sini

6

Ketika hatimu patah:

Seperti kau kehilangan separo dirimu

Lalu kau menjadi sangat rapuh

Bahkan oleh dentingan suara yang sangat halus

7

Kubuka cendela kamar

Angin segar berebut mengusap wajah

Embun jatuh di ujung hidung menyapa

Pendar cahaya mentari membuka pandangan nan sejuk

Buah cheri, memerah ranum bergerling ceriah…

Daun-daun melambai berdesau

Tanah menguap basah menguap manja

Sungguh Tuhan menciptakan alam ini begitu lembut

Penuh kasih sayang…

Hatikupun tersentuh

Sesuatu menelusup….

Kenapa aku harus merasa sendirian???

Lihatlah alam tak pernah berpaling darimu

Petiklah buah cheri

Manisnya alami, tanpa kepahitan

Raup embun pagi

Segar menyejukkan, tak pernah keruh

Hirup reguk uap tanah

Hangat tak pernah membakar

Sungguh Tuhan menciptakan alam ini begitu natural

Penuh kedamaian….

Anak sungaiku berlinangan

8

Kesunyian hati tak pernah menipu

Walau di sekeliling begitu hiruk

Seperti ilalang di tengah ladang

Di antara desauan angin beliung

Akankah angin mencabut sampai akarnya

Sehingga tubuhnya melayang tak tentu arah

Terhempas pepohonan, bebatuan, dan tebing

Lalu meringkuk sendirian di gelap jurang

Tiada yang mendengar rintihannya

Tiada yang akan mengusap lukanya


*Staf Pengajar jurusan Ilmu Komunikasi UMM. Penulis beberapa buku kumunikasi, penikmat dan menulis beberapa puisi.

Kamis, 05 Maret 2009

Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim

Pada Suatu Hari


Wawancara yang dimohon wartawati baru itu, oleh Presiden dikabulkan. Padahal, Annisa baru sepuluh bulan bekerja sebagai wartawati di media ini. (Kabar itu membengkakkan rasa cemburu rekan-rekannya, yang lebih senior). Lagi pula, semua orang tahu, yang mulia Presiden tidak mudah diwawancarai!

Dalam wawancara, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Annisa. Selama wawancara dengan Presiden, tidak diperbolehkan membicarakan politik, ekonomi, baik dalam maupun luar negeri. Yang diperbolehkan hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Wawancara bertempat di serambi belakang istana (di mana tempat itu adalah bagian terindah dari istana).

Wawancara akan dilakukan pada jam dua siang. Annisa harus hadir lima belas menit sebelum wawancara dimulai. Tidak diperkenankan membawa fotografer. Dan paling penting yang harus diingat Annisa, tidak diperbolehkan memakai parfum. Presiden yang perokok berat itu, alergi terhadap parfum. Padahal, tanpa parfum kesukaannya, Annisa merasa gamang.

Tepat lima belas menit sebelum jam dua siang, Annisa, 26 tahun, tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, bermata lebar, kulitnya cokelat seperti tanah yang baru dibasahi hujan, putri bungsu dari empat bersaudara Bapak-Ibu Syahrul yang pengusaha, hadir di serambi belakang istana.

Jam dua siang tepat, yang mulia Presiden muncul dengan mengenakan baju warna gelap. Tanpa senyum, mengulurkan tangannya kepada Annisa.
Ada perasaan galau dalam diri Annisa. Dia mencoba menetralisir pikirannya yang kacau-balau (Terkagum-kagum kepada Presiden yang pernah dikenal dekat oleh bundanya). Annisa tersedot.

Sambil menyulut rokok yang digemarinya, Presiden berkata, "Anda bisa memulai dengan pertanyaan pertama."
Annisa yang untuk selanjutnya disebut dengan inisial (A), dan Presiden dengan inisial (P), memulai wawancara yang bagi Annisa, membuatnya gugup, berkeringat. (Bundanya pernah berkata, akan sulit baginya, mewawancarai lelaki yang suka menjaga jarak dalam pembicaraan mereka).
***
A: Di masa muda Bapak menyukai olahraga tenis, apakah Bapak masih sempat melakukan olahraga itu?

P: Saya masih melakukannya pada setiap Sabtu siang. Tetapi, setiap memukul bola, pikiran saya selalu tertumpu pada pekerjaan. Sehingga sulit memenangkan pertandingan yang saya adakan dengan pegawai-pegawai di lingkungan istana ini.

A: Saya kira, Bapak sangat menyukai pekerjaan, padahal tahun ini Bapak genap berusia berusia 60 tahun.

P: Kadang-kadang dalam usia ini, saya ingin sekali beristirahat untuk menikmati masa kerja yang begitu panjang temponya. Tetapi, harus Anda ketahui, hal itu tidak akan pernah saya lakukan. Karena, sekali lagi saya tegaskan, banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

A: Bapak beranggapan kerja menjadi keseluruhan hidup ini?

P: Saya tidak bilang begitu. Karena kadang-kadang saya juga menikmati waktu senggang dengan bermain tenis atau bermain dengan cucu-cucu saya. Keseimbangan itu bisa menyehatkan siapa saja.

A: Apakah Bapak masih menyukai seni, seperti di masa muda? Karena Bapak pernah menerbitkan beberapa kumpulan puisi. Saya dan Bunda suka puisi Bapak yang berjudul Bulan di Atas Pohon Kenari.

P: Di masa muda adalah waktu yang mengasyikkan kala menciptakan puisi. Tapi itu sudah lewat. Pikiran saya selalu melompat-lompat pada problem yang desak-mendesak di negeri ini.

A: Apakah Bapak kecewa?

P: Tidak. Setiap orang berada pada situasi batas, di mana kita tidak bisa memiliki banyak pilihan.

A: Apakah sekarang Bapak masih suka nonton film seperti di masa muda?

P: Ya, film-film dokumenter, sejarah atau perang. Saya kurang suka menonton film roman. Melihat film itu seperti melihat ilusi yang bisa meninabobokan kita semua.

A: Menurut beberapa ahli mode, Bapak menyukai model-model konservatif dan cenderung menyukai warna gelap. Menurut majalah mode, Bapak adalah pria berbusana terbaik di tahun ini. Bagaimana komentar Bapak tentang pendapat para ahli mode itu?

P: Sejak muda, saya tidak mempedulikan mode. Buat saya, asal enak dipakai saja.

A: Kalau hidup ini bisa diulang, profesi apa yang Bapak sukai?

P: Penyair, karena saya bisa terlibat dengan banyak manusia, menulis kristalisasi kehidupan.

A: Apakah dengan menjadi Presiden, kita tidak bisa mengkristalisasi kehidupan ini?

P: Ibu Annisa, pertanyaan Anda lepas dari koridor perjanjian semula.

A: Maaf, sekarang bagaimana pendapat Bapak tentang perempuan?

P: Saya suka perempuan yang konvensional. Ini bukan berarti saya tidak menyukai wanita karier. Sebab, saya kira, pekerjaan apa pun pasti bisa menarik.

A: Bagaimana pendapat Bapak tentang cinta?

P: Saya kira, kita tidak bisa memanipulasi cinta. Untuk hal ini harus ada kerja sama.

A: Kalau saya boleh menyimpulkan, Bapak hanya mencintai kerja keras dan berharap semua orang bisa meniru sikap Bapak. Lantas apa yang tidak Bapak sukai?

P: Sikap malas dan perasaan lemah.

A: Biasanya, perempuan dianggap lemah karena gampang menangis, bagaimana pendapat Bapak?

P: Seharusnya perempuan yang tinggal di negeri ini bersikap rasional. Sebab, kehidupan di zaman ini siap tempur dan desak-mendesak.

A: Kenyataannya sekarang banyak perempuan bahkan laki-laki yang cengeng. Itu terlihat pada film-film, sinetron, novel-novel atau lagu yang mereka gemari.

P: Benar, di dalam buku saku saya, sudah ada rencana untuk menghimbau rakyat agar mereka meninggalkan kecengengan itu.

A: Tapi, kalau kita bersikap yang sama, dunia ini akan kehilangan warnanya. Bagaimana pendapat Bapak?

P: Paling penting adalah warna yang rasional.

A: Apakah Bapak masih bisa menikmati bunga yang mekar, misalnya?

P: Saya mencoba untuk tidak pernah terpesona pada segala hal.

A: Bagaimana pendapat Bapak tentang lomba go car yang baru-baru ini diadakan dan juara pertamanya cucu Bapak yang baru berusia tiga belas tahun?

P: Sayang sekali, saya tidak sempat menyaksikan lomba tersebut. Yah, kelihatannya memang menarik.

A: Bagaiamana pendapat Bapak tentang remaja masa kini?

P: Pada dasarnya saya berharap mereka bisa lebih kreatif. Ibu Annisa, saya kira wawancara ini bisa ditutup sampai di sini saja!
***
Pada kesempatan itu Presiden membuka sebuah kotak berisi sebentuk cincin bermata mirah.

"Seharusnya kotak ini saya berikan pada Bundamu, tiga puluh lima tahun yang lampau, di hari pernikahannya! Sekarang bisa kau berikan kepadanya. Bilang pada Ibumu, sebagai teman lama, saya menyarankan dia tidak hanya membuat novel-novel yang bertemakan kelemahan-kelamahan manusia saja."

Annisa gugup. Sebelum dia berbicara lebih lanjut, yang mulia Presiden berdiri.

"Kamu sangat mirip ibumu, Annisa! Tadi saya nyaris menyangka dialah yang hadir."

Annisa gelagapan. Dia merasa berhalusinasi ketika melihat kesedihan, cinta, kebencian, di mata laki-laki itu. Bundanya pernah berkata, lelaki ini sulit mengungkapkan perasaannya. Pada waktu yang sama, ayahnya melamar Ibunya.

Sebelum Annisa sempat berucap apa-apa, lelaki itu bergegas memasuki ruang kerjanya, melihatnya sepintas, kemudian menutup pintu ruang kerjanya!
***
Sore ini, di kamar, Annisa mencoba mengedit hasil wawancaranya dengan Presiden. Dia merasa kesulitan dan capek. Secara iseng Annisa membuka chanel TV, kemudian dengan geram mematikannya lagi, kala berita infotaiment sore itu mengatakan, Annisa berhasil mewawancarai Presiden, yang biasanya sulit diwawancarai! Dan, kata presenternya, bagaimana Anissa bisa semudah itu mewawancarai presiden.

Annisa berpikir, sebuah tembok mengelilinginya. Dia ingin menghancurkan tembok itu. Annisa mengerti bahwa lelaki itu mirip orang yang dicintainya. Padahal saat ini Annisa sudah bertunangan dengan lelaki lain.

Keputusan ini tidak mudah. Bundanya menganggap, dia tidak mengambil keputusan yang tepat. Bundanya berkata, "Kalau tidak ada ketegasan dalam hubunganmu, mengapa kau harus bertunangan dengan orang lain. Nduk, pernikahan itu tidak bisa disederhanakan, apalagi ketika kau marah dengan pacarmu, kemudian bertunangan dengan orang lain."

Annisa tidak bisa menceritakan kepada Bundanya. Dia sekarang paham, cinta mereka memunculkan pemberhalaan. Sehingga dia berpikir harus menghancurkan perasaan cintanya sendiri sebelum menjadikan pacarnya sebagai berhala dari perasaannya itu. Tidak mudah memang, seperti membelah diri sendiri. Apakah ini juga pernah dilakukan oleh Bundanya?

Diam-diam Annisa merasa Bundanya perempuan cerdas yang lebih punya intuisi terhadap kehidupan perkawinannya. Pernikahan orang tuanya berjalan biasa-biasa saja. Sejak kecil Annisa tidak melihat kejanggalan atau keburukan, dalam umur pernikahan mereka? Namun Annisa tumbuh sebagai anak bungsu yang mendapat banyak perhatian dari orang tuanya.
***
Sebetulnya, ceritanya harus dimulai dari sini. Annisa merasa seperti kebanyakan mahasiswa yang penuh cita-cita dan cinta. Namun gelisah terus-menerus. Sampai suatu kali dia merasa muak dengan segala hal. Di ruang perpustakaan dia membaca, bertemu dengan seorang laki-laki. Ini memang sebuah cerita klise. Namun, sejak itu perhatiannya tertumpah kepada laki-laki itu saja. Sehingga Annisa seperti diseret ke dalam arus yang besar dan tidak bisa kembali. Annisa tercekik dan putus asa. Cintanya sudah menjadi berhala yang berada di setiap sudut ruang kuliah, kamarnya, bahkan di sebuah ruang yang paling privat. Sepertinya Annisa sudah berteriak-teriak, berguling-guling untuk memutuskan itu.

Annisa mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan.
Kemudian, untuk pertama kalinya Annisa menyulut rokok kegemaran Presiden, mengurung diri dan bekerja keras tanpa mempedulikan tunangannya yang memanggil-manggil di luar kamar. "Annisa, apa yang terjadi denganmu? Beberapa hari ini aku tidak bisa menghubungi ponsel atau telepon rumahmu," katanya lembut.
Annisa diam, diam saja. ***

Malang, 17 Januari 1984 / 30 Oktober 2004

Cerpen: Nuril M*

SEMANGAT SIANG


Masa muda adalah masa pancaroba

Masa-masa pencarian jati diri

Masa-masa penuh gejolak

Masa-masa penuh dinamika

Laksana siklus hari

Ia seperti siang hari

Ya semangat siang ................



6 Maret 2006

Aku ingat saat itu aku dalam masa pencarian. Masa-masa ingin tahu banyak hal. Terutama mengenai hakekat kehidupan. Aku seorang perempuan berumur 19 tahun. Setelah lulus dari SMA di sebuah kota kecil di perantauan. Dengan berbekal sedikit kecerdasan aku di terima menjadi mahasiswa di sebuah universitas Negeri di Malang. Aku aktif di sebuah organisasi Pers Mahasiswa (persma). Disanalah aku berbincang tentang banyak hal yang baru bagi duniaku yang sebelumnya sangat monoton. Hampir setiap hari aku menghabiskan malam-malamku dengan diskusi. Sampai kepala ini mau pecah rasanya. Walaupun pada akhirnya aku juga belum puas. Aku merasa semua hal yang mereka bicarakan tentang idealisme dan tetek bengeknya hanya sebatas wacana saja. Pada realitasnya sebagian besar dari mereka tidak pernah menjadikannya sebagai semangat untuk menjalankan kehidupan.

Ketidak puasan itu memaksaku untuk berproses di luar ruangan berukukuran 4 x 5 m itu. Dalam pencarian itu aku singgah di beberapa tempat. Tempat itu orang-orang mengatakan sebagai kampung pemulung. Sebutan itu muncul karena sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai pemulung. Seringkali selepas kuliah aku bertandang kesana. Disana nampak sebagian besar rumah yang ditempati berdinding cukup tipis karena berbahan kardus. Walaupun sudah ada juga yang permanen, namun hanya satu dua dan ukurannya sangat sempit untuk sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang suami istri dan 6 orang anaknya.

Disana aku bertemu dengan beberapa orang. Tapi diantara sekian banyak orang disana aku cukup akrab dengan seorang gadis belia bernama Nurul. Ia kelas 2 SD saat itu, umurnya kurang lebih 8 atau 9 tahun. Nurul lah yang mengajakku berjalan-jalan singgah ke rumah tetangga-tetangganya. Di kampung itu Nurul tingggal dengan Bapak, Ibu dan ke lima adiknya dalam kondisi yang sangat terbatas. Bapaknya sehari-hari bekerja sebagai pemulung barang-barang bekas seperti kardus dan botol-botol bekas. Ibu Nurul juga seorang perempuan yang sagat giat bekerja, tentunya ini bukan permasalahan karir, tapi terlebih karena adanya tuntutan hidup yang sangat terbatas. Beliau berjualan es di teras rumahnya yang hanya berukuran 1 x 1 meter. Keluarga ini cukup ramah ketika aku singgah. Belum ada 5 menit aku duduk beralaskan tikar di ruangan yang katanya kamar tamu, namun yang aku rasa lebih mirip gudang. Aroma pop ice jualan Karsiah, ibu Nurul tercium cukup kuat karena sudah tersaji di hadapanku. Sambil menikmati minuman dingin itu, aku ngobrol ngalor-ngidul dengan Nurul.

Aku senang melihat Nurul, semangat hidup nampak terpancar dari wajah mungilnya. Namun disisi lain, pada usianya yang masih belia ia harus membanting tulang juga untuk membantu kedua orang tuanya. Pagi-pagi benar ia sudah harus bangun untuk membantu ibunya mempersiapkan dagangan. Setelah itu ia bergegas berangkat sekolah dengan membawa tas lusuh satu-satunya berisi buku-buku dan alat tulis yang ia miliki. Tidak seperti umumnya anak-anak seusianya, biasanya sepulang sekolah anak-anak seumurnya bisa nonton TV, tidur siang atau bermain bersama teman-temannya. Untuk Nurul kebiasaan itu tidak berlaku. Ia harus berangkat mengais rejeki dengan bermodal ecek-ecek terbuat dari tutup botol soft drink yang ia buat sendiri dengan suara melodi yang pas-pasan. Ia berjalan dari rumah ke rumah dengan harapan ada yang mau memberikan 100 ataupun 200 rupiah yang mereka miliki sebagai bayaran jasa hiburan yang ia berikan. Tidak perlu berbelas kasihan, karena Nurul melakukannya nampak tanpa beban. Ketika aku tanya, katanya dia senang melakukan pekerjaan itu. Sekalian juga untuk hiburan.

Tidak jauh dari tempat Nurul tinggal, hanya sekitar 50 meter adalah komplek perumahan yang cukup megah. Tapi tidak pernah aku lihat ada yang keluar dari rumah-rumah itu untuk sekedar ngobrol apalagi untuk berderma. Kesenjangan sosial nampak sangat jelas disana. Jaman ini memang sudah sangat terbalik yang kaya jadi semakin kaya, yang miskin jadi semakin miskin. Tanggung jawab sosial yang mestinya diemban oleh setiap individu sudah mulai memudar.

Aku mulai banyak berpikir sejak pulang dari kampung itu, aku masih sangat beruntung tidak dalam kondisi semacam itu. Anak seusia itu harus pula membanting tulang untuk membantu orang tuanya membiayai 5 orang adiknya. Aku merasakan kehidupanku selama kuliah jadi lebih hidup. Walaupun secara finansial aku juga mepet, minimal aku masih bisa bersenda gurau disana.


21 Mei 2006

Saat ini aku menemukan dan singgah di tempat baru. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang aku pikir sosok yang langka kutemui di jaman yang carut-marut ini. Ia bekerja sebagai Pedagang Kali Iima (PKL) buku plus. Plus itu maksudnya, ia merangkap juga jadi seniman dan budayawan. Awalnya aku hanya sekedar ikut nimbrung di forum diskusi bentukannya saja. Aku cukup tertarik pada apa yang dia bicarakan. Orang-orang memanggilnya Aris. Tentunya aku tidak memanggil dengan nama itu saja, aku memanggilnya ‘Mas Aris’. Penampilannya memang cukup mencerminkan citra seniman ataupun budayawan pada umumnya. Rambut gondrong, beranting sebelah dan terkadang bercelana bolong-bolong dengan kaos hitam yang sering nampak ia kenakan.

Sebenarnya awalnya aku cukup takut juga, mungkin yang lebih tepat sungkan mau ngobrol dengan dia. Gimana nggak sungkan gayanya cuek pool…..Walaupun sebenarnya saat kondisi serius dia sangat familiar. Tapi aku cuek saja, memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang cukup lama jadi pertanyaan di kepalaku. Pokoknya kesempatan ini benar-benar ingin aku gunakan untuk proses.

“Mas Aris ya..?”, Sapaku seraya memperkenalkan diri.

“Saya Emil mas, dari Universitas Merak”.

“Oh… dari mana mbak.?”, tanyanya.

“Kebetulan saya aktif di Persma mas”, jawabku menjelaskan asal muasalku.

Selanjutnya, kondisi psikologisku sudah lumayan stabil. Jadilah obrolan yang lumayan panjang dengan pertanyaan seputar forum diskusi yang ia pelopori. Namun Kemudian obrolanpun terpaksa harus aku akhiri. Ketika ada beberapa orang yang datang bertamu ke kios non permanen miliknya. Sepertinya sama-sama seniman kalau dilihat dari penampilannya. Akhirnya karena dia juga harus menyambut tamunya yang baru datang. Obrolan pun aku cukupkan dengan kalimat permisi.

“Terima kasih mas, aku balik ke kampus dulu soalnya ada kuliah “., pamitku memberikan alasan. Seraya menaiki motor merahku yang sudah butut, aku beranjak pergi menuju kampus.

Selama perjalanan pulang ada satu obrolan yang terfikirkan. Dia banyak menyinggung masalah fungsi manusia dan tanggung jawab sosial sebagai manusia. Kondisi yang aku temui saat ini, memang banyak orang yang cenderung berfikir tentang kepentingan pribadinya. Padahal seharusnya kedua tanggung jawab itu harus berjalan seimbang. Aku jadi semakin yakin bahwa persinggahanku di dua tempat itu tidak salah. Aku jadi tahu kondisi realitas sosial yang ada disana.


4 Juli 2006

Perjalananku juga menemukan sesuatu yang umumnya ditemukan perempuan seumurku. Cinta, ya… cinta katanya. Diproses ini menurutku cukup rumit. Banyak benturan dalam diriku. Awalnya banyak pertanyaan apakah rasa ini hadir karena karunia-Nya atau hanya emosi sesaat. Pada proses ini menumbuhkan keyakinan ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Perjalanan ini begitu banyak memunculkan pemikiran. Apa ya, katanya cinta itu adalah segalanya. Entahlah…. mengapa banyak hal yang menjadi tanda tanya besar di kepalaku.

Aku mencoba menelusuri akar munculnya rasa itu. Walaupun kata orang cinta itu tidak bisa dirasionalkan. Karena Cinta itu diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk rasa. Jadi yang bicara bukan rasio tapi hati. Wah…. untuk yang satu ini aku memang tergolong kuper, soalnya aku pikir masalah yang seperti ini ada waktunya sendiri untuk dipikirkan.

Terkadang aku juga masih konservatif untuk urusan cinta. Walaupun aku banyak memperbincangkan tentang feminisme dan kekuatan perempuan, tapi aku cenderung pasrah. Artinya kalau aku lagi ngobrol sama orang tuaku, aku selalu bilang, aku siap untuk dijodohkan asalkan melalui proses dulu, istilahnya diberi waktu untuk saling mengenal. Karena menurutku yang namanya cinta sampai menuju fase pernikahan itu siklus wajar setiap manusia. Yang membedakan hanya esensi yang difahami oleh setiap manusianya. Jadi menurutku bukan masalah orangnya tapi yang penting pemikirannya. Itulah sebabnya kenapa teman-temanku mengatakan bahwa aku termasuk perempuan yang punya kriteria aneh.

Menurutku laki-laki itu menjadi menarik untuk diajak jalan kalau ia punya daya intelektual yang cukup. Semakin pintar laki-laki itu, ia akan nampak semakin menarik di mataku. Sebaliknya menurutku kalau hanya mengandalkan fisik saja, bagiku gak bakalan berumur lama. Ya karena inti dari setiap hubungan adalah pada kualitas manusianya. Kalau masalah fisik menurutku itu bisa dipoles secara instan. Walaupun salah satu temanku juga protes atas pendapatku ini.

“ Kalau memang sudah jelek aslinya, ya tetap saja jelek!”, protesnya.

“ Ya… Memang butuh kecerdasan khusus untuk ngerti pendapatku ini”, selorohku dengan nada bercanda.

Jadilah aku tertarik sama mahluk yang satu ini. Menurutku tidak banyak laki-laki yang punyai pemahaman tentang esensi hidup seperti dia. Ini aku fikirkan secara rasional. Sampai saat ini cukup manis perjalananku berkasih dengannya. Dan aku jatuh hati padanya hanya lewat sebuah puisi yang dia berikan padaku :


Untuk Mutiaraku


Aku mencintaimu sebab Kau adalah manusia

Aku mencintimu sebab Kau adalah wanita

Aku mencintaimu bukan karena parasmu

Aku memilihmu bukan karena materimu

Sebab pengetahuanlah untuk memahami esensi hidup

Sebab kecerdasanlah untuk mencari makna hidup

Dan keikhlasan adalah jalan (sandaran)

Untuk pertanggung jawaban kehidupan



17.00 WIB

Realitas yang aku temui dibeberapa tempat yang aku singgahi benar-benar menjadi sebuah pemikiran. Aku sangat beruntung kalau aku pikir. Diposisi ini aku tidak dituntut untuk menghidupi siapa-siapa, hanya dituntut untuk serius belajar saja. Aku merasa nyaman ada disana bersama mereka, aku merasakan sesuatu yang membuat akal dan hatiku berdialektika dengan sangat serius

Ketika kembali ke kampus kondisi jadi berubah. Aku banyak melihat kondisi-kondisi yang sebaliknya. Kenyamanan yang aku temukan, tidak banyak yang sempat berfikir tentang realitas di luar. Yang aku temukan adalah citra-citra kenyamanan saja. Aku melihat teman-temanku cukup sibuk dengan Hp di tangan mereka daripada sekedar menyapa teman disebelahnya. Lebih asyik mendengarkam Mp3 dengan earphone di telinga daripada mendengarkan diskusi. Lebih banyak mengamati film terbaru apa yang muncul di bioskop-bioskop daripada mengamati realitas sosial di seputarnya. Dosen yang katanya pendidikpun hari ini tak banyak membantu membentuk kami menjadi manusia. Di ruang kuliah yang banyak diperbincangkan sebagian besar hanyalah masalah materi dan kesempatan-kesempatan kerja. Nilai pendidikan yang katanya bisa menjadikan manusia menjadi manusia sejati sudah tidak aku temukan.

Wajar saja akhirnya ketika hampir di setiap profesi ini aku tidak menemukan sesuatu yang mencerahkan, malah menjadikan pikiran semakin suram. Itulah juga alasan mengapa aku mencari ruang diluar kampus untuk memproses diriku sendiri. Sampai saat ini aku memang belum menjadi manusia sejati, tetapi minimal aku sudah melihat realitas manusia-manusia sejati di seputarku. Aku bermimpi suatu saat bisa menjadi seperti mereka. Artinya menurutku pekerjaan dan status sosial bukanlah permasalahan, akan tetapi esensi dari kehidupan itulah yang harus difahami. Karena inilah menurutku ruh kehidupan manusia di dunia. Tanpa itu, semuanya jadi kering dan hampa. Kita hanya akan menemukan kekosongan

Walaupun aku perempuan, aku bukanlah sosok yang menerima begitu saja kondisi yang aku jalani sekarang. Aku masih punya bayangan bisa menjadi perempuan yang punya daya intelektual yang kuat. Tidak berhenti hanya sekedar berbicara mengenai dapur, kasur dan sumur. Aku ingin menjadi kebanggaan anak-anakku kelak. Menjadi sosok yang mereka idolakan, jadi tidak perlu Madonna, Angelina Jolie ataupun Tamara Blezensky yang diidolakan. Cukup ibu mereka yang mereka idolakan. Pada saatnya, aku yakin mampu menjadi seperti itu. Bayangan akan sosok perempuan yang punya kekuatan akal dan hati.. Karena aku pikir tidak banyak perempuan yang mampu mencapai taraf itu. Pada saatnya aku yakin bisa mewujudkannya.

Perjalanan ini masihlah sangat panjang, prosesku akan terus berjalan. Tak hanya di beberapa tempat ini. Mungkin akan banyak tempat-tempat lain yang akan aku singgahi. Mungkin banyak orang lagi yang akan aku temui. Karena menurutku realitas itu sendirilah guru yang sejati.



*Pegiat Forum 28-an Kampung Budaya Malang


PUISI-PUISI: M. NASHIR*

LORONG SRIWIJAYA

(Kampoeng Boedaja Malang)


di sepanjang jalan ini

jerit-jerit anak bangsa

pecahkan kebisuan

geliatnya kan lahirkan petir

menyambar asa yang terkulai lemah

di sepanjang jalan ini

aku kan tetap nyanyikan

lagu sumbang negeri ini

meskipun hujan guyur semangatku

dan terik kuras energiku

dengarlah kau wahai para pendusta

biarpun

telingamu telah kau tulikan

biarpun

matamu telah kau butakan

tapi hatimu akan selalu tergetar

dan lemahkan

langkahmu yang telah gontai

Malang 2004


CERITA TENTANG LAMBAU

(Lemah Tanjung)


Disini dulu aku mencari kayu

Menjadi tarzan,begitu anganku

Sambil bersenda gurau


Disini dulu aku bermain bola

Sambil bercanda

Merenda asa


Disini kini aku berdiri

Menatap ngeri

Kotaku yang kehilangan jati diri


Disini dulu berdiri Lambau

Kini telah berdiri rumah hantu

Sebab kala hujan,semua menjadi galau

Mlg, 2002


TENTANG KESENIAN


Seni terkadang bagai sebuah cangkul

Sebuah alat untuk mengolah tanah,

Ketika telah menjadi subur

Tanaman menjadi indah di pandang,

Keindahan tanaman itupun

Akan menghasilkan materi yang lain.

Jika cangkul hanya di pandang

Sebagai cangkul di mana letak fungsinya?

Malang 2008

*Budayawan Malang dan Pemilik Toko Buku Poestaka Rakjat

Minggu, 01 Maret 2009

Puisi-puisi: Liza Wahyuninto

(http://selamatpagiindonesia.wordpress.com)

Gadis Kecil Gesek Luka Ku

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini masih berlagak diri seolah sembilu
Balut lukaku yang semakin membiru
Pantangkan diri tuk mengharu

Bak mawar ia tengah merekah
Malu hendak ku sentuh kelopaknya
Atau sekedar mengerling merahnya
Karna ku tahu ia takkan tanggung marah sang duri

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini mulai berceloteh tentang pesta menyambut pagi
Nyanyian periang di tengah sepi
Meskipun ia sering teriris sembilu

Bak gendang ia mendendang
Lagu bimbang di tengah gersang
Jengah hendak ku pangku ia
Tak pantangkan baginya terantuk galah

Gadis kecil yang dulu gesek lukaku
Kini berdiri tegak di hadapanku
Tubuhnya membiryu, bibirnya membisu
Rebahkan diri ke pelukanku
Sembari berbisik “maafkan daku”

Malang, 12-13 Juni 2008

Parade Menjemput Mimpi

kan ku elus alismu
cepatkan memimpi menepi
kan ku tiup matamu
pengusir mimpi buruk yang memburu

begitu anggun kau dalam lelap
tanang dalam keheningan
ku tahan napasku
biar mimpi tak berlabuh

malang 05 Juni 2007

Aku Menulis Lagi

Aku menulis lagi

Melupakan Nil yang pernah ku sebrangi

Melupakan Himalaya yang pernah ku daki

Melupakan Amazon yang pernah ku susuri

Aku menulis lagi

Tentang cinta yang tak kunjung menyapa

Tentang hati yang tak jua terpaut

Tentang jiwa yang tak pula berhenti resah

Aku menulis lagi

Tentang pertemuan sebatas mata

Tentang percakapan sebatas senyum

Tentang lidah kelu tak berkata apa-apa

Aku menulis lagi

Dan tak kan berhenti menulis

Hingga ada kerling mata menjelma sapa

Hingga senyum menjelma tanya

Aku menulis lagi

Dan kan terus menulis

Walau Nil sudah mengering

Walau Himalaya merata tanah

Walau Amazon tak lagi bertumbuh ilalang

Aku menulis lagi

Hingga aku mati dalam sepi

Malang, 05 September 2008