Jumat, 14 Agustus 2009

Cerpen Ratna Indraswari "Kanal" : Dialektika Indonesia dan Belanda di era (Post)kolonial

(http://www.facebook.com/note.php?note_id=117052013060#/note.php?note_id=107834408060)

Cerpen “Kanal” (Jawa Pos, 26 April 2009) karya Ratna Indraswari Ibrahim menarik untuk dikaji dalam perspektif wacana sastra postkolonial. Ratna melukiskan dialektika (generasi) negeri bekas penjajah (Belanda) dan terjajah (Indonesia) dengan beberapa fenomena negosiasi budaya dan identitas yang melingkupinya. Sastra postkolonial memang tidak harus bertumpu pada tema konfrontasi senjata. Berbagai tema karya sastra yang terkait dengan fenomena sosial budaya yang terus berlangsung hingga kini, sebagai akibat dari praktek penjajahan, juga menjadi wilayah studi sastra postkolonial. Pemahaman bahwa bentuk penjajahan tidak hanya bertumpu pada kekuatan senjata, tetapi juga kekuatan politik, budaya, pendidikan (pengetahuan) dan teknologi menjadikan kajian sastra postkolonial tidak terbatas pada rentetan peristiwa dalam sejarah penjajahan masa silam.

“Kanal” membuka kembali memori penjajahan Belanda atas Indonesia sekaligus menghadirkan beberapa fragmen situasi dan relasi sosial budaya pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Di era penjajahan, Belanda (Barat) menjadi ‘pusat’, sementara Indonesia adalah ‘pinggiran’ yang dieksploitasi demi kejayaan Belanda. Di era (post)kolonial, Belanda, yang pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad, bisa jadi masih berusaha memosisikan dirinya sebagai ‘pusat’ dan negeri kuat. Pemerintah Belanda membiayai orang-orang Indonesia, seperti tokoh Nunung, untuk studi di Belanda. Tokoh Nunung dalam cerpen “Kanal” adalah segelintir orang Indonesia, seperti tokoh-tokoh penting Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan, yang merasakan bangku lembaga pendidikan di negeri Belanda. Studi di negeri ‘pusat’—Barat, bagaimanapun masih menjadi narasi besar dan impian orang-orang dari negeri ‘berkembang’, termasuk Indonesia.

Setting kota Amsterdam di mana tokoh Nunung melanjutkan studi adalah kota yang memiliki universitas ternama sehingga banyak mahasiswa mancanegara yang kagum dan tertarik untuk studi di sana. Amsterdam menjadi bagian dari konstruksi ‘kota metropolis’ yang membuat Nunung terasing—“sangat tidak merasa nyaman”, sebagaimana dilukiskan Ratna di bagian awal cerita—cultural shock yang sering terjadi dalam translokasi manusia dari satu negara ke negara lain. Sebagai satu dari sekian mahasiswa Indonesia yang mendapatkan dana studi dari negara Belanda, Nunung adalah representasi dari program ‘politik etis’ Belanda di era postkolonial. Kolonialisme secara formal memang telah berakhir ketika sebuah negera memproklamasikan kemerdekaannya, tapi bukan berarti praktek-praktek kolonialisme berakhir. Konstruksi wacana yang dilakukan barat terhadap negeri-negeri timur dengan berbagai bentuk budayanya, termasuk yang dilakukan oleh tokoh Bryan, mahasiswa Belanda, yang membangun stereotipe manusia dan budaya Indonesia melalui pengetahuannya yang distorsif dan subjektif, dari sudut pandang dan kepentingan orang Belanda, adalah bagian dari dinamika diskursus (post)kolonial yang tak bisa dilepaskan dari dialektika ‘otoritas’, ‘superioritas’ dan ‘hirarki’.

Konstruksi Citra Manusia dan Budaya Indonesia dan Belanda

Tokoh Bryan berupaya membangun citra ‘antropologis’ manusia Indonesia dengan berkata kepada Nunung, “Rambut orang Asia itu bagus ya.” Pernyataan Bryan ini kemudian disertai keinginan Bryan untuk melukis rambut Nunung. Pernyataan yang secara implisit berpotensi melahirkan ‘otoritas’ Bryan atas diri Nunung—generasi bekas negeri jajahan; Bryan menyanjung Nunung untuk mendapatkan untung. Stereotipe fisik yang dikonstruksi Bryan juga menegaskan bias hirarki ras manusia yang berimplikasi pada dikotomi warna rambut, mata dan juga kulit: orang Belanda berambut pirang, orang Indonesia berambut hitam—yang bagi Bryan indah. Berupaya ‘mendialogkan’ citra orang barat dan timur, Ratna Indraswari lalu menarasikan ‘counter’ atas konstruksi stereotype orang Indonesia yang dikontruksi oleh Byan. Nunung berkata kepada Bryan,” Aku melihat laki-laki di negerimu tidak punya banyak pancaran kelelakian, seperti laki-laki di negeriku. Tapi, aku kira perempuan di negerimu sangat mandiri, mereka jadi kehilangan watak keperempuannya. '' Di sini Ratna berusaha membandingkan perbedaan kontruksi gender kedua negara dan mengkonstruksi citra manusia Belanda di mata orang Indonesia.

Bryan yang oleh Nunung masih dianggap sebagai ‘orang asing’— karena baru kenal di kampus—lalu berusaha akrab dengan Nunung dengan mengatakan bahwa dia tahu banyak tentang Indonesia, terutama terkait dengan masyarakat Indonesia yang beragam namun dipenuhi kesenjangan sosial. Ketika Bryan berkata, “Begitu plural bangsamu, dari yang bisa belajar di sini sampai mereka yang tetap bertahan hidup di pedalaman Kalimantan atau Papua. Sedangkan di sini hampir seragam kehidupannya”, implikasi yang muncul adalah pencitraan Bryan atas Indonesia dan Belanda: Indonesia berada dalam konstruksi ‘inferior’ dan Belanda dalam posisi ‘superior’. Kesenjangan manusia Indonesia, antara mereka yang mendapatkan kesempatan pendidikan dengan mereka yang masih teralienasi di pedalaman adalah konstruksi narasi Indonesia yang dilakukan Bryan. Sebuah narasi yang seringkali dijadikan alasan oleh beberapa negara Barat untuk melaksanakan agenda ‘memeradabkan’ negara-negara dunia ketiga. Dalam konteks ini apakah kebijakan Belanda untuk memberikan beasiswa kepada Nunung bermakna seratus persen negatif dan selalu berada dalam kerangka binari oposisi antara (bekas) penjajah dan terjajah? Relasi penjajah dan yang terjajah tak selamanya oposisi, tetapi terkadang mutual. Baik Indonesia dan Belanda sama-sama bisa meraih keuntungan. Tokoh Nunung bisa pulang ke tanah air dengan ilmu yang makin bertambah untuk kemudian turut bekerja keras membangun Indonesia. Belanda mengambil keuntungan dengan melakukan penetrasi ‘otoritas’ dan pengaruh di Indonesia melalui Nunung.

Dialektika wacana postkolonial terlihat makin dinamis terutama ketika Bryan berkata kepada Nunung bahwa kakek Bryan pernah tinggal di Indonesia sebagai amtenar di pabrik tebu pada masa pendudukan Belanda. Bryan memberikan penegasan bahwa kakeknya tidak pernah menembak orang-orang Indonesia, karena sang kakek bukanlah tentara. Ini adalah pembelaan Bryan yang paradoksial, karena penjajahan yang dilakukan Belanda pada hakekatnya tidak hanya bertumpu pada senjata dan pemusnahan nyawa, tetapi juga eksploitasi kekayaan alam Indonesia, termasuk melalui kerja ‘orintalisme’ yang dilakukan oleh Snouck Horgunje. Sebagai bagian dari sistem dalam Pabrik tebu yang eksploitatif, kakek Bryan jelas bagian dari representasi imperialis karena pabrik tebu di era pendudukan Belanda menjadi bagian dari pendulum penjajah Belanda untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia. Bryan tampaknya ingin berkelit dan meraih simpati Nunung dengan menjauhkan Nunung dari persepsi generalisasi keterlibatan kakek Bryan dalam penjajahan Belanda di Indonesia yang kejam dan berdarah; Bryan membangun wacana bahwa penjajahan menyakitkan yang dilakukan oleh Belanda adalah sebatas menembak orang Indonesia. Sayang, Ratna tampaknya tak memiliki intensi membangun narasi resistensi (perlawanan) atas klaim Bryan ini.

Ratna justru cenderung menguatkan superioritas Belanda (Barat) dalam hal etos kerja. Tokoh Nunung mengutip pernyataan Eyangnya, ''Papamu kalau kerja ngotot kayak landa.” Ucapan ini secara implisit mengandung makna bahwa kerja keras (ngotot) adalah warisan dan budaya Belanda. Padahal bangsa Indonesia juga memiliki tradisi kerja keras dengan irama dan prinsip-prinsipnya. Benar bahwa Ratna tampaknya ingin menggaris bawahi ‘kerja ngotot’ seperti orang Belanda bisa beresiko menyita waktu dan menjebak manusia dalam kubangan materialisme, sehingga keluarga bisa mengalami disharmoni. Padahal di bagian lain cerita, Nunung berkata kepada Bryan,” ''Kalau di negeriku, kau bisa melihat kemandirian kami sampai di desa-desa. Bahkan, beberapa perempuan di desa secara kejiwaan lebih mandiri, karena mereka ikut menopang ekonomi keluarga […]”. Di sini Ratna jelas mewacanakan kerja keras manusia Indonesia dan kembali menyinggung persoalan gender. Narasi Ratna ini justru dengan sendirinya mendekonstruksi narasi Ratna sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa, jika dibandingkan dengan wanita Indonesia, wanita Belanda lebih mandiri sehingga kehilangan watak keperempuanannya. Dan ternyata kerja keras manusia Indonesia juga luar biasa karena wanita juga sering menopang ekonomi keluarga. Hal ini berarti bahwa “kerja ngotot kayak landa” perlu diperjelas kembali parameter dan kriterianya oleh Ratna.

Menimbang Narasi Resistensi

Sebagai tokoh terdidik, Nunung mestinya lebih bisa menaikkan ‘bargaining position’ citra Indonesia dan melepaskan konstruksi negatif manusia dan budaya Indonesia di mata Belanda. Namun Nunung justru memberikan generalisasi sikap manusia Indonesia yang mengalir dan cenderung berharap kepada Ratu Adil. Memberikan tanggapan atas pernyataan Bryan bahwa orang-orang Belanda sudah terdidik dengan jadwal waktu yang tepat, Nunung berkata kepada Bryan:

''Kau tahu, tidak banyak bangsaku melakukan hal itu. Hidup kami mengalir bersama mimpi-mimpi dan harapan. Karena itu apa pun jeleknya situasi negeri, kami masih berharap ada ratu adil yang akan menolong setiap orang di negeriku.''

Secara eksplisit berarti Nunung melihat bahwa orang Indonesia tidak terbiasa dengan jadwal, tapi cenderung mengalir. Dengan permasalahan dalam negeri Indonesia yang juga disinggung dalam cerpen “Kanal” , yang begitu serius, mulai masalah politik, ekonomi, hukum, korupsi, apakah dengan mengalir seperti air dan bertumpu kepada ratu adil, Indonesia akan bisa sejajar dengan negara-negara maju seperti Belanda, yang sekian lama bisa mendanai orang-orang Indonesia untuk studi di sana. Generalisasi Nunung atas sikap manusia Indonesia dan penggunaan kata “kami” jelas tidak merepresentasikan sikap manusia Indonesia yang begitu plural.

Ratna Indraswari Ibrahim tampaknya masih perlu memikirkan bagaimana teks “Kanal” tidak hanya berhenti pada ‘nostalgia’ masa penjajahan, dan kisah dua insan beda bangsa, tetapi bagaimana juga membangun ‘resistensi’ Indonesia di mata bangsa yang pernah menjajahnya. Namun, konstruksi narasi resistensi Indonesia atas Belanda pasti sangat dipengaruhi oleh ‘prinsip’ dan ‘pilihan’ Ratna Indraswari dalam ‘bersastra’. Di akhir cerita, Ratna memilih menarasikan Nunung yang tengah merasa bahwa Bryan duduk di sampingnya ketika pesawat membawa Nunung pulang ke Indonesia. Apakah citra lelaki Belanda seperti Bryan dan permainan wacana yang dibuatnya begitu kuat membayangi alam pikiran Nunung?


Yusri Fajar
Bayreuth Bayern, 11 Mei 2009

Siapakah Godot dalam 'Menunggu Godot'?

(http://www.facebook.com/note.php?note_id=107931398060)

Tokoh Godot, dalam drama ‘Menunggu Godot’ karya Samuel Beckett, yang hanya muncul dalam dialog antara Estragon (Gogo), Vladimir (Didi), Pozzo, Boy dan Lucky memang sosok penuh misteri. Samuel Beckett sendiri menolak untuk memberikan informasi tentang siapa sesungguhnya Godot. Beckett bilang secara diplomatis," If I knew, I would have said so in the play. (Jika aku tahu, aku akan mengatakannya dalam drama tersebut)" Namun Beckett seseungguhnya juga tidak secara total 'merahasiakan' identitas Godot. Hanya saja, identitas yang dikonstruksi Beckett atas Godot adalah identitas yang berada pada ruang diskursif yang penuh antitesis. Meski Godot berada pada posisi 'absence' tapi konstruksi-konstruksi atas identitas 'absurd' nya membuat Godot, menurut saya, justru menjadi 'presence'. Dalam wacana pos-modernisme tentu saja 'ketidakjelasan' dan ‘indeterminacy’ semacam ini bisa dilihat sebagai strategi untuk memutarbalikkan kerangka 'realitas' yang dalam perspektif modernisme selalu dihadirkan secara transparan dan determinan. Tidak hanya representasi realitas gaya modern saja yang sebenarnya berupaya didekonstruksi oleh kaum posmodernis tetapi juga bangunan dikotomi yang berbinari. Karya-karya postmodern selalu menjunjung tinggi peleburan dua entitas melalui filosofi gerak ‘siklikal’nya, berputar dalam kejamakan.

Lebih jauh, berkaitan dengan identitas 'absurd' dan tak stabil seperti dalam kasus Godot, opini para teoritikus seperti Erik H Erikson (psikolog sosial), Woodward (sosiolog), Stuart Hall (Budayawan), untuk menyebut beberapa nama, bisa dipertimbangkan. Pemikir-pemikir ini pada dasarnya bersepakat bahwa identitas adalah proses tanpa akhir yang melibatkan komponen sosial yang secara dinamis melakukan identifikasi dan konstribusi. Konfigurasi identifikasi selalu melibatkan ‘self’ dan ‘others’, ‘identified’ dan ‘identifier’, melalui atribut-atribut yang melingkupi mereka. Karena itu wajar, jika konstruksi identitas selalu melahirkan distingsi-distingsi yang seringkali sulit diurai. Sejak Erikson, misalnya, memerkenalkan konsep ‘krisis identitas’, diskursus identifikasi menjadi lebih multi, tidak ada lagi kecenderungan ‘tunggal’. Kalau beberapa kritikus di Barat menganggap Godot adalah Tuhan Yesus dengan alasan kesamaan identitas, sifat, dan tingkah laku antara Godot dan Yesus, saya kira itu adalah hak mereka. Ada kritikus lain yang bilang Godot adalah ‘nothing’, bukan apa dan siapa-siapa. Bagi saya juga silahkan saja.

Lalu bagaimana saya memaknai konstruksi identitas Godot yang misterius itu?


Mula-mula saya berupaya mengenali bagaimana Beckett mendeskripsikan Godot dengan melacak di bagian mana Godot 'dihadirkan' pertama kali. Ternyata sejak awal 'Godot' telah 'mendatangi' pikiran Vladimir dan Estragon. Godot dideskripsikan melalui kata ganti orang ketiga tunggal 'he'. Ini terjadi ketika Estragon dan Vladimir mulai memertanyakan Godot dan berkomitment untuk setia menunggunya. "He didn't say for sure he'd come," kata Vladimir untuk memberi informasi kepada Gogon bahwa Godot (he) tak jelas kapan datang. Kata ganti 'he' ini tentu saja menjadi 'antitesis' awal atas identitas Godot yang Beckett sendiri menyatakan tak 'tahu'. Dengan kata ganti 'he' tentu identitas itu sendiri telah terbangun meski masih kabur. "He' siapa? Yang jelas bukan 'she' atau 'it'. Sampai di sini, ternyata Godot bukan 'entitas' kosong yang seratus persen 'absurd'. Godot adalah entitas yang mengacu pada 'sesuatu' yang sudah sedikit 'tertentu' yaitu 'dia/he'. Coba tanya kembali pada Beckett, kenapa dia menggunakan kata ganti 'he' untuk 'Godot'-bukannya 'she' atau 'it', saya prediksi Beckett akan menjawab tak tahu lagi. Beckett sendiri sudah meninggal, oleh karena itu 'the death of the author' nya Roland bathers sudah tak perlu diperdebatkan jika memang ada yang ingin dan fanatik menjadikannya rujukan. Saya sendiri tak berupaya mengambil posisi terhadap opini Barthes. Yang terpenting adalah saya bisa melanjutkan apresiasi drama ‘Menunggu Godot’ ini secara bebas merdeka tetapi tetap bertanggungjawab. Akhirnya sampai pada perntanyaan: apakah ‘he’, dalam konteks Godot, juga berarti laki-laki? Apakah mungkin Godot adalah Tuhan yang dalam kamus Islam juga memiliki kata ganti ketiga laki-laki (‘huwa’ bukan ‘hiya’)? Tetapi, apakah tidak terlalu jauh menginterpretasikan Godot sebagai Tuhan?

Berikutnya saya berupaya melanjutkan pencarian atas penanda berhuruf lima ini kembali: G-O-D-O-T. Apakah Beckett hanya berhenti pada kata ganti 'he'. Ternyata tidak. Dengan alur melingkar dan cenderung repetitif, Beckett membawa saya berputar-putar sebelum akhirnya bertemu dengan dialog antara Vladimir dan Estragon yang berisi kontruksi lain lagi atas identitas diskursif Godot. Di tengah kebingungan mereka atas sosok yang ditunggunya, Vladimir dan Estragon memiliki ide untuk melacak Godot melalui rekan bisnisnya, keluarganya, teman-temannya, buku-buku karangannya, dan rekening banknya. Di sini nampak sekali Beckett memainkan relasi persepsi dan konstruksi identitas yang ambigu untuk menjaga suspensi. Tapi Beckett di sini lagi-lagi tertangkap tak penuh berpretensi menyembunyikan 'Godot'. Identifikasi identitas yang dilakukan Didi dan Estragon menjadi dekonstruksi atas ketidakjelasan sosok Godot. Namun benarkah Godot punya teman, punya kolega bisnis, punya karya, dan punya rekening bank. Tak ada keterangan lanjutan. Yang jelas semua pihak dan benda yang ingin dilacak oleh Didi dan Estragon tak pernah muncul. Tetapi sampai di sini lagi-lagi saya menemukan 'Godot' sebagai sosok yang tak lagi 'absurd' meski masih terasa 'absurd'. Dialektika identitas fase kedua ini lagi-lagi memperkuat klaim para pemikir sastra postmodernism bahwa Beckett adalah salah satu tokoh teater yang menolak 'makna tunggal'.

Lalu? Tokoh Boy muncul dan berkata bahwa dia bekerja pada Godot sebagai penggembala ternak. Di sini Godot mendapatkan kontruksi identitas baru, sebagai 'tuan' ternak. Berarti Godot tergolong 'kaya', gumam saya sambil terus berupaya membedah absurditas berikutnya. Beckett mulai nampak bermain-main dengan 'personality' Godot untuk memain-mainkan 'curiousity' pembaca. Boy bilang bahwa Godot suka memukuli saudara laki-laki si Boy. Tetapi si Boy bilang bahwa Godot sangat baik kepadanya dan cukup perhatian kepadanya. Ah, ternyata tuan Godot diskriminatif, tidak adil! Bisik saya. Ambivalensi semacam ini adalah gaya khas sastra postmodern. Yang menarik adalah upaya Vladimir dan Estragon untuk terus melakukan investigasi. Rasa tak kenal lelah yang ditunjukkan Gogo dan Didi ini adalah ‘spirit’ khas eksistensialime di mana sang makhluk ‘berhak’ melakukan ‘ijtihad’, termasuk melawan ketidakjelasan dan ketidakmungkinan.

Dan kelucuan dalam absurditas muncul kemudian. Konstruksi identitas bergerak pada ruang anarkis-nya, persepsi di mana ‘others’ dilibatkan dalam kesulitan dan kepenatan pencarian identitas. Pozzo muncul, lalu secara serempak Estragon dan Vladimir mengidentifikasi Pozzo sebagai Godot. Tentu Pozzo menolak dipanggil Godot karena dirinya adalah Pozzo bukan Godot. Kesalahan identifikasi ini menandakan ketidakjelasan sumber dan hipotesis atas identitas ‘pihak’ yang ingin dicari atau ditemui. Pozzo yang mendengar dirinya dipanggil Godot lalu melakukan pengkaburan baru nama Godot dengan bilang,” What happens in that case to your appointment with this Godet Godot Godit. “ Nama sebagai salah satu piranti kecil dari identitas tak lagi mampu diperjelas oleh tokoh-tokoh sendiri.

Dan akhirnya saya memutar haluan ke bagian depan cerita, saya mendapati Estragon sendiri tak yakin bahwa ‘orang’ yang dia tunggu itu adalah Godot. “Apakah nama dia Godot?” tanya Estragon pada Vladimir. Lalu saya melompat ke bagian belakang, hampir penghabisan dari cerita. Saya menyaksikan Estragon bertanya kepada Boy,”Apa yang dikerjakan oleh Godot?” Boy menjawab,”Godot tak tak melakukan apa-apa!”

Yusri Fajar
Jerman 2008

Selasa, 05 Mei 2009

Puisi-Puisi: D.N. Hasan

ONANI KATA

Kata-kata bergema dalam ruang benak
Berdesakan menjelajahi otak
Kata-kata bergemuruh di ujung lidah
Akankah terlontar bagai muntah
Ludah
Ataukah sumpah serapah

Kata-kata tercurah dalam pena
Mengalir lewat tinta
Muncrat tumpah di atas secarik kertas
Bebas lepas
Seakan tiada batas

Akankah bermakana
Akankah tiada guna
Mengisi lembaran sejarah
Ataukah keranjang sampah
Engkau sendiri yang akan memberi arti

BELENGGU RINDU I

Titik-titik air terus menampari wajah bumi tanpa henti
Lesap dalam tanah merah
Semerbak harumnya memanggiliku
Rindu ku pun nyalang
Akan tanah pegunungan dan belantara sunyi
Nyanyian dedaunan dan serangga malam

Namun………
Langkahku terkotak dalam rumah ini
Atap bocor dan ancaman banjir
Karena kota Malang ku nan benar-benar malang
Telah menjadi kota ruko, mall, dan real estate
Tiada cukup lagi lahan tuk resapan air

Malang, Januari 2006

BELENGGU RINDU II
(Kepada Kota Malangku)

Kemana kaki harus melangkah
Bila rindu kian mendera ?
Dalam pengap belantara kota
Yang kian rimbun dan kering
Pohonku adalah
Tembok-tembok real estate
Tembok-tembok mall dan ruko
Sungaiku antrian kendaraan bermotor
Kabutku asap pabrik dan knalpot
Langitnya mendung turunkan hujan asam
Gunungku adalah timbunan sampah
Ampas gaya hidup konsumtif
Dan tebarkan wabah penyakit jiwa
Konsekuensi Tri Bina Cita kota Industri
Aku rindu harum tanah basah dan embunnya
Angin lembut yang belai kabut
Dan nyanyi malam binatang hutan
Kala sibak onak belantara kota
Kala lalui badai gunung
Atau cumbui tebing dan cadas bebatuan
Dengan balutan energi segarnya air kali
Kini
Kemana kaki harus melangkah
Bila rindu kian mendera ?
Sedang pada keheningan sana
Alam sedang berunjuk rasa
Tanah yang tergerak
Dan airpun berontak

BANGSA YANG BELAJAR DARI
NEDHERLAND-INDIE

Bangsa kita adalah bangsa yang besar
Bangsa yang mampu belajar dari sejarahnya
Bagaimana menjajah dan menindas
Rakyatnya sendiri
Dasar otak materialis, hati iblis

Malang, November 200

Puisi:Windri Arini

Cahaya Gelap
(http://eowynshimbelmyne.blogspot.com)

Beri aku setitik cahaya yang mengalir dari matamu
Sinari jiwa dengan mimpi
Tanpa harus merasakan dahaga
Lemah diriku...
Telah menabur duka yang tak kunjung surut

Seseorang...
Adakah setitik cahaya jika kau bersamaku?
Seseorang...
Adakah seberkas harapan saat kau di sampingku?
Seseorang...
Pernahkah terbesit menyisakan cinta di hatimu untukku?

Ketika kau sudah sangat melupakanku
Kuatkan diriku...
Ketika terpikir bahwa kini cahaya tak lagi sebagai cahaya
Namun gelap semakin merajai hatimu

(untuk AFRIca - Probolinggo, 01 Agustus 2006)

Jumat, 24 April 2009

Puisi: Liza Wahyuninto

YANG MENYAPA DI PAGIMU ITU AKU
(http://selamatpagiindonesia.wordpress.com/)

Setelah terlupa sepanjang malam
Di awal ingatku ke dunia
Namamu yang pertama kuingat
Menyapamu di awal kata terucap

Yang menyapa di pagimu itu aku
Membuka pagi-pagi dengan salam keselamatan
Yang memberi tanda di setiap embunmu itu aku
Dan ketika tidak ada aku embun yang wakilkan
Tuk sebut namamu, jua namaku

Malang, 11 April 2009

Minggu, 15 Maret 2009

Puisi: Frida Kusumastuti*

SAJAK 7 BULAN PENGEMBARAAN

(http://www.bestari.umm.ac.id)

1

Akan ada suatu kepastian

2

Teringat saat itu

Begitu tangguh walau melalui perbukitan terjal

Harapan tak memudar walau hati bergetar

Ada hantu yang berlalu lalang

Tetapi kita menjadi kuat menghadang

Saat ini,

Apalah arti hanya mendaki sendirian

Walau hantu tak lagi gentayangan

3

Di antara dua waktu

Aku selalu menunggu

Mungkin kini, mungkin esok

Sementara itu…

Waktu yang lalu tinggalkan jejak

Seolah kini dan esok gak perlu ditunngu

Engkau tinggal menuju

Di sana telah ada jamuan sepanjang waktu

4

Masih ada sinar

Lewat ujung jari yang memutih

Tapi kenap jari-jari ini semakin banyak berkerut?

Kering keriput seolah begitu uzur

Begitulah waktu telah letih menunggu?

Begitukah jarak telah jauh menghubung?

Layarpun semakin redup

Kacanya buram oleh jari keriput

Harus kujemput sebelum berlarut

5

Keagamaan menyambut

Tiada elan saat menatap

Berceloteh jauh hal di luar

Rasanya kaki tidak di sini

6

Ketika hatimu patah:

Seperti kau kehilangan separo dirimu

Lalu kau menjadi sangat rapuh

Bahkan oleh dentingan suara yang sangat halus

7

Kubuka cendela kamar

Angin segar berebut mengusap wajah

Embun jatuh di ujung hidung menyapa

Pendar cahaya mentari membuka pandangan nan sejuk

Buah cheri, memerah ranum bergerling ceriah…

Daun-daun melambai berdesau

Tanah menguap basah menguap manja

Sungguh Tuhan menciptakan alam ini begitu lembut

Penuh kasih sayang…

Hatikupun tersentuh

Sesuatu menelusup….

Kenapa aku harus merasa sendirian???

Lihatlah alam tak pernah berpaling darimu

Petiklah buah cheri

Manisnya alami, tanpa kepahitan

Raup embun pagi

Segar menyejukkan, tak pernah keruh

Hirup reguk uap tanah

Hangat tak pernah membakar

Sungguh Tuhan menciptakan alam ini begitu natural

Penuh kedamaian….

Anak sungaiku berlinangan

8

Kesunyian hati tak pernah menipu

Walau di sekeliling begitu hiruk

Seperti ilalang di tengah ladang

Di antara desauan angin beliung

Akankah angin mencabut sampai akarnya

Sehingga tubuhnya melayang tak tentu arah

Terhempas pepohonan, bebatuan, dan tebing

Lalu meringkuk sendirian di gelap jurang

Tiada yang mendengar rintihannya

Tiada yang akan mengusap lukanya


*Staf Pengajar jurusan Ilmu Komunikasi UMM. Penulis beberapa buku kumunikasi, penikmat dan menulis beberapa puisi.

Kamis, 05 Maret 2009

Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim

Pada Suatu Hari


Wawancara yang dimohon wartawati baru itu, oleh Presiden dikabulkan. Padahal, Annisa baru sepuluh bulan bekerja sebagai wartawati di media ini. (Kabar itu membengkakkan rasa cemburu rekan-rekannya, yang lebih senior). Lagi pula, semua orang tahu, yang mulia Presiden tidak mudah diwawancarai!

Dalam wawancara, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Annisa. Selama wawancara dengan Presiden, tidak diperbolehkan membicarakan politik, ekonomi, baik dalam maupun luar negeri. Yang diperbolehkan hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Wawancara bertempat di serambi belakang istana (di mana tempat itu adalah bagian terindah dari istana).

Wawancara akan dilakukan pada jam dua siang. Annisa harus hadir lima belas menit sebelum wawancara dimulai. Tidak diperkenankan membawa fotografer. Dan paling penting yang harus diingat Annisa, tidak diperbolehkan memakai parfum. Presiden yang perokok berat itu, alergi terhadap parfum. Padahal, tanpa parfum kesukaannya, Annisa merasa gamang.

Tepat lima belas menit sebelum jam dua siang, Annisa, 26 tahun, tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, bermata lebar, kulitnya cokelat seperti tanah yang baru dibasahi hujan, putri bungsu dari empat bersaudara Bapak-Ibu Syahrul yang pengusaha, hadir di serambi belakang istana.

Jam dua siang tepat, yang mulia Presiden muncul dengan mengenakan baju warna gelap. Tanpa senyum, mengulurkan tangannya kepada Annisa.
Ada perasaan galau dalam diri Annisa. Dia mencoba menetralisir pikirannya yang kacau-balau (Terkagum-kagum kepada Presiden yang pernah dikenal dekat oleh bundanya). Annisa tersedot.

Sambil menyulut rokok yang digemarinya, Presiden berkata, "Anda bisa memulai dengan pertanyaan pertama."
Annisa yang untuk selanjutnya disebut dengan inisial (A), dan Presiden dengan inisial (P), memulai wawancara yang bagi Annisa, membuatnya gugup, berkeringat. (Bundanya pernah berkata, akan sulit baginya, mewawancarai lelaki yang suka menjaga jarak dalam pembicaraan mereka).
***
A: Di masa muda Bapak menyukai olahraga tenis, apakah Bapak masih sempat melakukan olahraga itu?

P: Saya masih melakukannya pada setiap Sabtu siang. Tetapi, setiap memukul bola, pikiran saya selalu tertumpu pada pekerjaan. Sehingga sulit memenangkan pertandingan yang saya adakan dengan pegawai-pegawai di lingkungan istana ini.

A: Saya kira, Bapak sangat menyukai pekerjaan, padahal tahun ini Bapak genap berusia berusia 60 tahun.

P: Kadang-kadang dalam usia ini, saya ingin sekali beristirahat untuk menikmati masa kerja yang begitu panjang temponya. Tetapi, harus Anda ketahui, hal itu tidak akan pernah saya lakukan. Karena, sekali lagi saya tegaskan, banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

A: Bapak beranggapan kerja menjadi keseluruhan hidup ini?

P: Saya tidak bilang begitu. Karena kadang-kadang saya juga menikmati waktu senggang dengan bermain tenis atau bermain dengan cucu-cucu saya. Keseimbangan itu bisa menyehatkan siapa saja.

A: Apakah Bapak masih menyukai seni, seperti di masa muda? Karena Bapak pernah menerbitkan beberapa kumpulan puisi. Saya dan Bunda suka puisi Bapak yang berjudul Bulan di Atas Pohon Kenari.

P: Di masa muda adalah waktu yang mengasyikkan kala menciptakan puisi. Tapi itu sudah lewat. Pikiran saya selalu melompat-lompat pada problem yang desak-mendesak di negeri ini.

A: Apakah Bapak kecewa?

P: Tidak. Setiap orang berada pada situasi batas, di mana kita tidak bisa memiliki banyak pilihan.

A: Apakah sekarang Bapak masih suka nonton film seperti di masa muda?

P: Ya, film-film dokumenter, sejarah atau perang. Saya kurang suka menonton film roman. Melihat film itu seperti melihat ilusi yang bisa meninabobokan kita semua.

A: Menurut beberapa ahli mode, Bapak menyukai model-model konservatif dan cenderung menyukai warna gelap. Menurut majalah mode, Bapak adalah pria berbusana terbaik di tahun ini. Bagaimana komentar Bapak tentang pendapat para ahli mode itu?

P: Sejak muda, saya tidak mempedulikan mode. Buat saya, asal enak dipakai saja.

A: Kalau hidup ini bisa diulang, profesi apa yang Bapak sukai?

P: Penyair, karena saya bisa terlibat dengan banyak manusia, menulis kristalisasi kehidupan.

A: Apakah dengan menjadi Presiden, kita tidak bisa mengkristalisasi kehidupan ini?

P: Ibu Annisa, pertanyaan Anda lepas dari koridor perjanjian semula.

A: Maaf, sekarang bagaimana pendapat Bapak tentang perempuan?

P: Saya suka perempuan yang konvensional. Ini bukan berarti saya tidak menyukai wanita karier. Sebab, saya kira, pekerjaan apa pun pasti bisa menarik.

A: Bagaimana pendapat Bapak tentang cinta?

P: Saya kira, kita tidak bisa memanipulasi cinta. Untuk hal ini harus ada kerja sama.

A: Kalau saya boleh menyimpulkan, Bapak hanya mencintai kerja keras dan berharap semua orang bisa meniru sikap Bapak. Lantas apa yang tidak Bapak sukai?

P: Sikap malas dan perasaan lemah.

A: Biasanya, perempuan dianggap lemah karena gampang menangis, bagaimana pendapat Bapak?

P: Seharusnya perempuan yang tinggal di negeri ini bersikap rasional. Sebab, kehidupan di zaman ini siap tempur dan desak-mendesak.

A: Kenyataannya sekarang banyak perempuan bahkan laki-laki yang cengeng. Itu terlihat pada film-film, sinetron, novel-novel atau lagu yang mereka gemari.

P: Benar, di dalam buku saku saya, sudah ada rencana untuk menghimbau rakyat agar mereka meninggalkan kecengengan itu.

A: Tapi, kalau kita bersikap yang sama, dunia ini akan kehilangan warnanya. Bagaimana pendapat Bapak?

P: Paling penting adalah warna yang rasional.

A: Apakah Bapak masih bisa menikmati bunga yang mekar, misalnya?

P: Saya mencoba untuk tidak pernah terpesona pada segala hal.

A: Bagaimana pendapat Bapak tentang lomba go car yang baru-baru ini diadakan dan juara pertamanya cucu Bapak yang baru berusia tiga belas tahun?

P: Sayang sekali, saya tidak sempat menyaksikan lomba tersebut. Yah, kelihatannya memang menarik.

A: Bagaiamana pendapat Bapak tentang remaja masa kini?

P: Pada dasarnya saya berharap mereka bisa lebih kreatif. Ibu Annisa, saya kira wawancara ini bisa ditutup sampai di sini saja!
***
Pada kesempatan itu Presiden membuka sebuah kotak berisi sebentuk cincin bermata mirah.

"Seharusnya kotak ini saya berikan pada Bundamu, tiga puluh lima tahun yang lampau, di hari pernikahannya! Sekarang bisa kau berikan kepadanya. Bilang pada Ibumu, sebagai teman lama, saya menyarankan dia tidak hanya membuat novel-novel yang bertemakan kelemahan-kelamahan manusia saja."

Annisa gugup. Sebelum dia berbicara lebih lanjut, yang mulia Presiden berdiri.

"Kamu sangat mirip ibumu, Annisa! Tadi saya nyaris menyangka dialah yang hadir."

Annisa gelagapan. Dia merasa berhalusinasi ketika melihat kesedihan, cinta, kebencian, di mata laki-laki itu. Bundanya pernah berkata, lelaki ini sulit mengungkapkan perasaannya. Pada waktu yang sama, ayahnya melamar Ibunya.

Sebelum Annisa sempat berucap apa-apa, lelaki itu bergegas memasuki ruang kerjanya, melihatnya sepintas, kemudian menutup pintu ruang kerjanya!
***
Sore ini, di kamar, Annisa mencoba mengedit hasil wawancaranya dengan Presiden. Dia merasa kesulitan dan capek. Secara iseng Annisa membuka chanel TV, kemudian dengan geram mematikannya lagi, kala berita infotaiment sore itu mengatakan, Annisa berhasil mewawancarai Presiden, yang biasanya sulit diwawancarai! Dan, kata presenternya, bagaimana Anissa bisa semudah itu mewawancarai presiden.

Annisa berpikir, sebuah tembok mengelilinginya. Dia ingin menghancurkan tembok itu. Annisa mengerti bahwa lelaki itu mirip orang yang dicintainya. Padahal saat ini Annisa sudah bertunangan dengan lelaki lain.

Keputusan ini tidak mudah. Bundanya menganggap, dia tidak mengambil keputusan yang tepat. Bundanya berkata, "Kalau tidak ada ketegasan dalam hubunganmu, mengapa kau harus bertunangan dengan orang lain. Nduk, pernikahan itu tidak bisa disederhanakan, apalagi ketika kau marah dengan pacarmu, kemudian bertunangan dengan orang lain."

Annisa tidak bisa menceritakan kepada Bundanya. Dia sekarang paham, cinta mereka memunculkan pemberhalaan. Sehingga dia berpikir harus menghancurkan perasaan cintanya sendiri sebelum menjadikan pacarnya sebagai berhala dari perasaannya itu. Tidak mudah memang, seperti membelah diri sendiri. Apakah ini juga pernah dilakukan oleh Bundanya?

Diam-diam Annisa merasa Bundanya perempuan cerdas yang lebih punya intuisi terhadap kehidupan perkawinannya. Pernikahan orang tuanya berjalan biasa-biasa saja. Sejak kecil Annisa tidak melihat kejanggalan atau keburukan, dalam umur pernikahan mereka? Namun Annisa tumbuh sebagai anak bungsu yang mendapat banyak perhatian dari orang tuanya.
***
Sebetulnya, ceritanya harus dimulai dari sini. Annisa merasa seperti kebanyakan mahasiswa yang penuh cita-cita dan cinta. Namun gelisah terus-menerus. Sampai suatu kali dia merasa muak dengan segala hal. Di ruang perpustakaan dia membaca, bertemu dengan seorang laki-laki. Ini memang sebuah cerita klise. Namun, sejak itu perhatiannya tertumpah kepada laki-laki itu saja. Sehingga Annisa seperti diseret ke dalam arus yang besar dan tidak bisa kembali. Annisa tercekik dan putus asa. Cintanya sudah menjadi berhala yang berada di setiap sudut ruang kuliah, kamarnya, bahkan di sebuah ruang yang paling privat. Sepertinya Annisa sudah berteriak-teriak, berguling-guling untuk memutuskan itu.

Annisa mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan.
Kemudian, untuk pertama kalinya Annisa menyulut rokok kegemaran Presiden, mengurung diri dan bekerja keras tanpa mempedulikan tunangannya yang memanggil-manggil di luar kamar. "Annisa, apa yang terjadi denganmu? Beberapa hari ini aku tidak bisa menghubungi ponsel atau telepon rumahmu," katanya lembut.
Annisa diam, diam saja. ***

Malang, 17 Januari 1984 / 30 Oktober 2004