Jumat, 27 Februari 2009

Mendekonstruksi Sentralisasi Sastra

Oleh Yusri Fajar

(Penyair dan Pengajar Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang)

( http://jiwasusastra.wordpress.com)

Prolog

Eka Budianta, pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga dikenal sebagai penyair, menuturkan bahwa ketika umur 15 tahun, dia telah berkenalan dengan komunitas sastra di Kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (IKIP, sekarang Universitas Negeri Malang). Sebulan sekali di Perguruan Tinggi tersebut diadakan pembacaan puisi, pentas teater dan diskusi sastra dalam acara malam purnama. Saat itu dia berkenalan dengan para sastrawan Malang yang punya nama nasional seperti alm. Hasjim Amir, Jasso Winarto, dan Henri Suprianto yang mengajaknya berlatih membaca puisi dan pentas. Menurut Eka, sejak dulu kala, kota Malang sudah punya sanggar seni lukis, seni tari dan kelompok-kelompok baca puisi.

Awal tahun 2001 di Universitas Muhammadiyah Malang, saya pernah menghadiri acara bedah puisi yang didahului dengan pembacaan puisi oleh beberapa peserta yang hadir. Pembicaraan tidak hanya terpusat pada apresiasi teks puisi baik dari aspek instrinsik maupun ekstrinsik namun juga melebar pada diskursus determinasi dan resistensi komunitas dalam kaitannya dengan proses kreatif. Saya melihat ada kegairahan dari para pegiat sastra yang datang meski saya juga sekaligus mempertanyakan sejauh mana kegairahan itu akan terus menyala. Di forum itu saya bertemu dengan penyair muda Malang, Ragil Sukriwul, dan pegiat teater jebolan ISI yogyakarta, Jumali, yang dua-tiga tahun berikutnya sering saya jumpai dalam diskusi-diskusi pasca pentas teater dan beberapa event sastra dan budaya lainnya di Malang.

Tahun 2004-an di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya, saya bersama beberapa mahasiswa membidani kelahiran komunitas kesenian bernama teater O ( kini berubah nama menjadi teater Lingkar) yang pada perjalanannya tidak hanya berkonsentrasi pada proses kreatif berteater tetapi juga bersastra. Beberapa kegiatan pembacaan puisi, bedah prosa, menghadirkan sastrawan, sampai mengadakan sayembara penulisan puisi pernah dilakukan. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang bergiat di komunitas tersebut pada perjalanannya juga mampu mempublikasikan puisi-puisinya di media masa. Geliat komunitas sastra selanjutnya saya temukan di kegiatan “arisan reboan (karena dilakukan malam rabu)” di Unibraw, yang di dalamnya berkumpul para pegiat teater dan pegiat sastra yang saling bergantian membaca puisi, bikin short performance, dan juga menggelar diskusi. Sastra saya lihat menggeliat di sana meskipun pada dasarnya geliat itu tak harus bertumpu pada ada dan tidak adanya sebuah komunitas.

Menurut saya, jika sastra ingin dimasyarakatkan dan ‘dibudidayakan’, gelombang sastra terpusat, bertumpu pada wilayah-wilayah tertentu, dan terlalu bersandar pada eksistensi para sastrawan tua atau yang sudah punya ‘nama’ sudah saatnya ‘dideskontruksi’. Karya sastra bisa lahir dari siapapun dan manapun termasuk dari wilayah yang tak dilihat dan kurang diperhitungkan. Di tengah hutan rimba yang jauh dari keramaian bisa jadi banyak bunga bagus dan menakjubkan, tetapi karena tak ada orang yang melihat maka bunga dan tanaman tadi tak terekspos keluar meskipun pada hakekatnya ia tetap sebagai ciptaan yang indah dan bagus. Karya bagus bisa lahir dari penulis tak terkenal dan dari daerah yang diremehkan. Kualitas karya juga tak bisa digaransi seratus persen oleh usia pengarang. Oleh karena itu gelombang dan geliat sastra itu harus dilihat sebagai kontruksi yang bisa hidup di berbagai habitat manusia dengan wilayah menyebar.

Namun ‘dekonstruksi’ sentralitas sastra dan penggairahan kehidupan sastra di wilayah-wilayah ‘terpinggirkan’ dari peta besar sastra sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Gerakan dan karya-karya sastra pedalaman yang sempat menarik perhatian karena semangat “revitalisasi sastra pedalaman” misalnya, sebagaimana diungkapkan Faruk, ternyata tak memiliki perbedaan signifikan dengan karya-karya dari pesisir dan tak mampu melahirkan revolusi bersastra dan cara berkesusastraan yang mandiri. Bahkan menurut pengamatan saya kini sastra pedalaman sedang mengalami hibernasi. Secara kultural bisa dikatakan belum mengakar dan belum mampu mendorong perubahan signifikan. Terlepas dari penilaian ini, minimal sastra pedalaman telah meletakkan pondasi untuk melakukan counter hegemoni dan melecut generasi mutakhir dari daerah-daerah untuk terus bereskplorasi meski ‘politik ordinasi dan subordinasi’ terus membayangi.

Post-modernisme memang mengisyaratkan sesuatu yang menyebar, tidak terpusat dan terkungkung mainstream tertentu. Dan menurut saya, di negeri yang plural seperti Indonesia, sesuatu yang terpusat dan seragam justru memang sangat kontraproduktif dengan hakekat keberagaman dan keserbamungkinan cara bersastra. Oleh karena itu warna dan gelombang sastra dari berbagai daerah dengan penulis-penulis muda perlu dibaca dengan seksama.

Memintal karya ‘tanpa sentral’?

Perjalanan panjang dunia kesusastraan diwarnai konstruksi dan dekontruksi dalam lingkaran aliran sastra pada setiap zaman berbeda. Strukturalisme dan post strukturalisme, humanisme universal dan realis sosialis-revolusioner, sastra tekstual dan kontekstual, absurditas dan realitas-empiris, mencatatkan tensi-tensi ketegangan yang meramaikan dan memperkaya dunia sastra. Posisi para penyair dalam menanggapi fenomena lokal dan global di sekitarnya begitu beragam dan sepertinya mereka masih berada pada konteks pencarian ‘diri’ sehingga tidak mengherankan jika terjadi mimikri di sana -sini dan terdapat banyak kutub sastra.

Dunia subjektif individu dan teologi sastra “sufistik” misalnya, adalah dua buah warna yang dalam periode sastra pernah menjadi sentral dan hingga kini masih banyak penulis yang menjadikannya sebagai kiblat. Kecenderungan pertama mengkoptasi puisi sebatas struktur dan permainan semiotika, mistisisme linguistik belaka. Konteks hanyalah sumber dari penanda dan petanda bahasa. Sementara sastra sufistik membangun kontemplasi atas kekuatan supreme di luar diri manusia. Domain vertikal begitu kuat sehingga terkesan menegasikan relasi horizontal kontekstual. Realisme sosialis revolusioner menjadi kehilangan tempat pada puisi-puisi teologi profetik semacam yang ditulis oleh Abdul hadi WM, Amien Wangsitalaja, dan beberapa lainnya. Di barat, T.S. Elliot, meski dengan basis dan persperktif berbeda, mengesplorasi sesuatu yang ‘metafisis’ yang secara semangat memiliki kesamaan. Lalu bagaimana membaca karya sastra sastrawan-sastrawan muda Malang?

Karya-karya beberapa sastrawan muda Malang sepertinya tengah berada pada kisaran pencarian (eksperimentasi) stereotype estetis dan isi dalam dialektika latar perkembangan sastra yang melingkupinya. Hal ini wajar mengingat sejarah panjang kesusastraan Indonesia tak bisa dihindarkan dari warna ‘kolonial’ yang melahirkan kekuasaan sentral. Mimikri menjadi bagian reflektif dari memori sadar dan alam bawah sadar pengarang atas konstruksi mapan yang datang sebelumnya. Terlebih lagi dominasi dan berbagai gaya sastra, dengan dukungan kekuasaan media yang teramat sulit dihindari oleh mereka. Karena itu, dari pembacaan berulang dan seksama, saya dihadapkan pada peta tak purna dari ‘kemutakhiran’ karya-karya mereka. Peta yang menuntut kontinyuitas penelusuran ulang. Namun demikian, karya-karya sastrawan muda Malang perlu dikritisi dan didekati dengan perspektif objektif agar realitas-realitas yang saya sebutkan di atas tidak mereduksi subtansi kekuatan karya mereka.

Puisi-puisi Abdul Mukhid penyair muda Malang yang terkumpul dalam antologi tunggal “Tulislah Namaku dengan Abu” (2006) mengantarkan saya pada pengembaraan sastra “tanpa pusat”, tanpa mainstream, melanglang buana dari satu ruang ke ruang lainnya tanpa pernah berlama-lama di salah satunya. Mukhid suatu kesempatan terkesan subjektif, berasyik mansyuk dengan eksistensinya sebagai upaya membangun dialektika sunyi; seperti terlihat dalam puisi-puisinya yang berjudul Tulislah Namaku dengan Abu, Dialog imajiner Dengan Caligula, Catatan Sepi 1, 2, 3, Tanda Tanya Agung. Tapi dalam puisi lainnya Mukhid justru menebar kontekstualitas sosio-politik-kultural dengan diksi lugas seperti dalam puisinya, 56 Tahun Indonesia (Masih) Cemas dan Berdamai dengan Kenyataan. Sementara di sudut lainnya, sentuhan teologi ketuhanan Mukhid terekam dalam Tuhan Maafkan Aku, Tak Semua dan Bukalah Bilik Hatimu. Mukhid sepertinya ingin berkelana dalam beragam genre, meski mungkin tak disadarinya. Sebuah pilihan berpuisi yang merdeka meski tanpa ciri. Cara berpuisi Mukhid hampir merambah sebagian besar penyair muda Malang yang karyanya pernah saya baca.

Ragil Sukriwul ‘mendekontruksi’ lokalitas dengan menabur beberapa diksi bahasa Inggris ke dalam puisinya yang sebenarnya mayoritas dia tulis dalam Bahasa Indonesia. Bagi saya, Ragil ‘tak menganggap’ petanda ‘global’ sebagai ancaman yang akan memarginalkan warna bahasa lokal (Indonesia) dan pemaknaannya. Ada kesadaran dan keberanian untuk mengelaborasikan petanda lokal dan global dalam puisi karena batas budaya telah remuk dalam desa global (global village). Salah satu puisinya berjudul “Lost”, dan puisinya yang berjudul “Jangan Kartu Pos I” berisi petanda global (Bahasa Inggris) yang saya maksudkan.

……………………………

Berceritalah tentang perutmu yang masih saja berteriak

Meski telah disumpal senampan Pizza, tentang jemari

Telunjukmu yang berungkali tersayat karena ngotot ingin

Masak

Sendiri,

(Juga biografi lelaki negeri mana saja yang pergi dan datang di kencanmu)

Ceritakan saja meski selarik puisi.

I was there…! I’m very Happy!” teriakan asingmu ini

Hanya jadi

Barisan abjad-abjad penuh cemas di sini

Jangan kirim kartu pos lagi: benci!

Kirimkan saja aku perih.

Lebih jauh, dengan gaya bangunan struktur dalam beberapa puisinya yang seperti mengajak kita untuk kembali melihat karya penyair Amerika E.E. Cumming dan penyair Sutardji Calzoum Bahri, Ragil juga sepertinya ingin meletakkan struktur bukan sebagai beban dalam berpuisi. Kata bisa digeser, ditata horisontal, vertikal, miring, dan tak lurus-rapi. Namun yang membedakan Ragil dan Sutardji adalah bahwa sebenarnya Ragil tak sepenuhnya ingin membebaskan kata dari makna sebagaimana Sutardji. Lihat saja dalam beberapa puisinya, seperti Di Antara yang Datang dan Pergi dan Menggambar Bulan, Ragil nampak masih bersetia dengan relasi makna dalam kata yang merajut puisinya.

Tegar Prajaksa, Penyair muda yang sedang kuliah di jurusan sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang, mendekontruksi struktur kata dalam puisi dengan melakukan pemecahan dan penyatuan suku kata sebagaimana dilakukan oleh penyair sekaligus pelukis dan pemahat Jerman Kurt Schwitters (1887-1948). Tegar melakukan dekonstruksi itu dalam puisinya Kontemporer Cinta. Tegar lalu dengan liar juga mendekontruksi sistem kultur ‘tabu’ dengan menghadirkan kata vagina dalam puisinya: Rengek Bocah Lima Tahun. Meski dalam banyak puisinya Tegar cenderung membawa kata dalam permainan strukur bebas, ia ternyata juga tak melepaskan diri dari godaan konteks di luar dirinya sebagai muatan yang mendahului penciptaan. Puisi Berjudul Lapindo, yang hanya berisi huruf 0, dan Hamid Mencari Iskandar bisa menjadi bukti.

Sementara dalam dunia prosa, nampak dalam cerpen Corry Atur, cerpenis perempuan yang masih muda dan sedang kuliah di Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang, ketegangan mitos dalam tradisi dan elemen modernitas justru berusaha dikolaborasikan dengan tujuan menghadirkan bentuk yang tak terpusat. Ada upaya membangun ‘ideologi’ yang tidak semata-mata berkiblat pada tradisi dan juga tidak serta-merta mengagungkan keilmiahan ‘modernitas’ dalam salah satu unsur sastra (literary devices). Corry yang telah lama tinggal di Malang memang menggunakan tradisi, dalam hal ini pernik-pernik mitologi, untuk membangun cerita dengan atmosfer modern. Folklore tentang Coban Rondo (salah satu tempat wisata di Malang) misalnya, yang dia hadirkan untuk menawarkan benang merah cerita yang dia tulis menunjukkan relasi kutub sastra sehingga tercipta medan magnit antar satu dengan yang lainnya. Hal ini sungguh menarik karena dalam wacana post-modernisme dua entitas yang begitu berbeda dimungkinkan bisa menjadi sumber inspirasi yang justru saling melengkapi, mengisi, bahkan mendekonstruksi.

Dengan begitu proses kreatif bakal mendapatkan ‘kebebasan’ dan keliarannya, seperti penggalan puisi Skizoprenia karya Miza, penyair dan mahasiswa di Program Bahasa dan Sastra Unibraw.

…………………………

Dalam keliaran dan kegilaan

Sesungguhnya tangis tak henti

Mendera

Lalu dengan sengaja

Mengapungkan diri di tengah laut

Biar dikoyak-koyak hiu

Epilog

Saya tidak berpretensi bahwa pembacaan saya atas beberapa sastrawan muda Malang tersebut di atas sudah representasif. Identifikasi dan pemetaan sastra di Malang membutuhkan proses yang tidak sekali jadi. Di luar itu, upaya untuk menjadikan gelombang sastra di Malang sebagai bagian revitalisasi dan perayaan sastra perlu terus mendapatkan apresiasi dan dukungan. Sastra yang terpusat dan dipusatkan, berada di atas menara gading dan menegasikan potensi sastra di daerah-daerah akan menjadikan berbagai kemungkinan kreativitas menjadi ‘terbatas’.

Sengkaling, Malang, Desember 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar