Jumat, 14 Agustus 2009

Siapakah Godot dalam 'Menunggu Godot'?

(http://www.facebook.com/note.php?note_id=107931398060)

Tokoh Godot, dalam drama ‘Menunggu Godot’ karya Samuel Beckett, yang hanya muncul dalam dialog antara Estragon (Gogo), Vladimir (Didi), Pozzo, Boy dan Lucky memang sosok penuh misteri. Samuel Beckett sendiri menolak untuk memberikan informasi tentang siapa sesungguhnya Godot. Beckett bilang secara diplomatis," If I knew, I would have said so in the play. (Jika aku tahu, aku akan mengatakannya dalam drama tersebut)" Namun Beckett seseungguhnya juga tidak secara total 'merahasiakan' identitas Godot. Hanya saja, identitas yang dikonstruksi Beckett atas Godot adalah identitas yang berada pada ruang diskursif yang penuh antitesis. Meski Godot berada pada posisi 'absence' tapi konstruksi-konstruksi atas identitas 'absurd' nya membuat Godot, menurut saya, justru menjadi 'presence'. Dalam wacana pos-modernisme tentu saja 'ketidakjelasan' dan ‘indeterminacy’ semacam ini bisa dilihat sebagai strategi untuk memutarbalikkan kerangka 'realitas' yang dalam perspektif modernisme selalu dihadirkan secara transparan dan determinan. Tidak hanya representasi realitas gaya modern saja yang sebenarnya berupaya didekonstruksi oleh kaum posmodernis tetapi juga bangunan dikotomi yang berbinari. Karya-karya postmodern selalu menjunjung tinggi peleburan dua entitas melalui filosofi gerak ‘siklikal’nya, berputar dalam kejamakan.

Lebih jauh, berkaitan dengan identitas 'absurd' dan tak stabil seperti dalam kasus Godot, opini para teoritikus seperti Erik H Erikson (psikolog sosial), Woodward (sosiolog), Stuart Hall (Budayawan), untuk menyebut beberapa nama, bisa dipertimbangkan. Pemikir-pemikir ini pada dasarnya bersepakat bahwa identitas adalah proses tanpa akhir yang melibatkan komponen sosial yang secara dinamis melakukan identifikasi dan konstribusi. Konfigurasi identifikasi selalu melibatkan ‘self’ dan ‘others’, ‘identified’ dan ‘identifier’, melalui atribut-atribut yang melingkupi mereka. Karena itu wajar, jika konstruksi identitas selalu melahirkan distingsi-distingsi yang seringkali sulit diurai. Sejak Erikson, misalnya, memerkenalkan konsep ‘krisis identitas’, diskursus identifikasi menjadi lebih multi, tidak ada lagi kecenderungan ‘tunggal’. Kalau beberapa kritikus di Barat menganggap Godot adalah Tuhan Yesus dengan alasan kesamaan identitas, sifat, dan tingkah laku antara Godot dan Yesus, saya kira itu adalah hak mereka. Ada kritikus lain yang bilang Godot adalah ‘nothing’, bukan apa dan siapa-siapa. Bagi saya juga silahkan saja.

Lalu bagaimana saya memaknai konstruksi identitas Godot yang misterius itu?


Mula-mula saya berupaya mengenali bagaimana Beckett mendeskripsikan Godot dengan melacak di bagian mana Godot 'dihadirkan' pertama kali. Ternyata sejak awal 'Godot' telah 'mendatangi' pikiran Vladimir dan Estragon. Godot dideskripsikan melalui kata ganti orang ketiga tunggal 'he'. Ini terjadi ketika Estragon dan Vladimir mulai memertanyakan Godot dan berkomitment untuk setia menunggunya. "He didn't say for sure he'd come," kata Vladimir untuk memberi informasi kepada Gogon bahwa Godot (he) tak jelas kapan datang. Kata ganti 'he' ini tentu saja menjadi 'antitesis' awal atas identitas Godot yang Beckett sendiri menyatakan tak 'tahu'. Dengan kata ganti 'he' tentu identitas itu sendiri telah terbangun meski masih kabur. "He' siapa? Yang jelas bukan 'she' atau 'it'. Sampai di sini, ternyata Godot bukan 'entitas' kosong yang seratus persen 'absurd'. Godot adalah entitas yang mengacu pada 'sesuatu' yang sudah sedikit 'tertentu' yaitu 'dia/he'. Coba tanya kembali pada Beckett, kenapa dia menggunakan kata ganti 'he' untuk 'Godot'-bukannya 'she' atau 'it', saya prediksi Beckett akan menjawab tak tahu lagi. Beckett sendiri sudah meninggal, oleh karena itu 'the death of the author' nya Roland bathers sudah tak perlu diperdebatkan jika memang ada yang ingin dan fanatik menjadikannya rujukan. Saya sendiri tak berupaya mengambil posisi terhadap opini Barthes. Yang terpenting adalah saya bisa melanjutkan apresiasi drama ‘Menunggu Godot’ ini secara bebas merdeka tetapi tetap bertanggungjawab. Akhirnya sampai pada perntanyaan: apakah ‘he’, dalam konteks Godot, juga berarti laki-laki? Apakah mungkin Godot adalah Tuhan yang dalam kamus Islam juga memiliki kata ganti ketiga laki-laki (‘huwa’ bukan ‘hiya’)? Tetapi, apakah tidak terlalu jauh menginterpretasikan Godot sebagai Tuhan?

Berikutnya saya berupaya melanjutkan pencarian atas penanda berhuruf lima ini kembali: G-O-D-O-T. Apakah Beckett hanya berhenti pada kata ganti 'he'. Ternyata tidak. Dengan alur melingkar dan cenderung repetitif, Beckett membawa saya berputar-putar sebelum akhirnya bertemu dengan dialog antara Vladimir dan Estragon yang berisi kontruksi lain lagi atas identitas diskursif Godot. Di tengah kebingungan mereka atas sosok yang ditunggunya, Vladimir dan Estragon memiliki ide untuk melacak Godot melalui rekan bisnisnya, keluarganya, teman-temannya, buku-buku karangannya, dan rekening banknya. Di sini nampak sekali Beckett memainkan relasi persepsi dan konstruksi identitas yang ambigu untuk menjaga suspensi. Tapi Beckett di sini lagi-lagi tertangkap tak penuh berpretensi menyembunyikan 'Godot'. Identifikasi identitas yang dilakukan Didi dan Estragon menjadi dekonstruksi atas ketidakjelasan sosok Godot. Namun benarkah Godot punya teman, punya kolega bisnis, punya karya, dan punya rekening bank. Tak ada keterangan lanjutan. Yang jelas semua pihak dan benda yang ingin dilacak oleh Didi dan Estragon tak pernah muncul. Tetapi sampai di sini lagi-lagi saya menemukan 'Godot' sebagai sosok yang tak lagi 'absurd' meski masih terasa 'absurd'. Dialektika identitas fase kedua ini lagi-lagi memperkuat klaim para pemikir sastra postmodernism bahwa Beckett adalah salah satu tokoh teater yang menolak 'makna tunggal'.

Lalu? Tokoh Boy muncul dan berkata bahwa dia bekerja pada Godot sebagai penggembala ternak. Di sini Godot mendapatkan kontruksi identitas baru, sebagai 'tuan' ternak. Berarti Godot tergolong 'kaya', gumam saya sambil terus berupaya membedah absurditas berikutnya. Beckett mulai nampak bermain-main dengan 'personality' Godot untuk memain-mainkan 'curiousity' pembaca. Boy bilang bahwa Godot suka memukuli saudara laki-laki si Boy. Tetapi si Boy bilang bahwa Godot sangat baik kepadanya dan cukup perhatian kepadanya. Ah, ternyata tuan Godot diskriminatif, tidak adil! Bisik saya. Ambivalensi semacam ini adalah gaya khas sastra postmodern. Yang menarik adalah upaya Vladimir dan Estragon untuk terus melakukan investigasi. Rasa tak kenal lelah yang ditunjukkan Gogo dan Didi ini adalah ‘spirit’ khas eksistensialime di mana sang makhluk ‘berhak’ melakukan ‘ijtihad’, termasuk melawan ketidakjelasan dan ketidakmungkinan.

Dan kelucuan dalam absurditas muncul kemudian. Konstruksi identitas bergerak pada ruang anarkis-nya, persepsi di mana ‘others’ dilibatkan dalam kesulitan dan kepenatan pencarian identitas. Pozzo muncul, lalu secara serempak Estragon dan Vladimir mengidentifikasi Pozzo sebagai Godot. Tentu Pozzo menolak dipanggil Godot karena dirinya adalah Pozzo bukan Godot. Kesalahan identifikasi ini menandakan ketidakjelasan sumber dan hipotesis atas identitas ‘pihak’ yang ingin dicari atau ditemui. Pozzo yang mendengar dirinya dipanggil Godot lalu melakukan pengkaburan baru nama Godot dengan bilang,” What happens in that case to your appointment with this Godet Godot Godit. “ Nama sebagai salah satu piranti kecil dari identitas tak lagi mampu diperjelas oleh tokoh-tokoh sendiri.

Dan akhirnya saya memutar haluan ke bagian depan cerita, saya mendapati Estragon sendiri tak yakin bahwa ‘orang’ yang dia tunggu itu adalah Godot. “Apakah nama dia Godot?” tanya Estragon pada Vladimir. Lalu saya melompat ke bagian belakang, hampir penghabisan dari cerita. Saya menyaksikan Estragon bertanya kepada Boy,”Apa yang dikerjakan oleh Godot?” Boy menjawab,”Godot tak tak melakukan apa-apa!”

Yusri Fajar
Jerman 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar