Kamis, 05 Maret 2009

Cerpen: Nuril M*

SEMANGAT SIANG


Masa muda adalah masa pancaroba

Masa-masa pencarian jati diri

Masa-masa penuh gejolak

Masa-masa penuh dinamika

Laksana siklus hari

Ia seperti siang hari

Ya semangat siang ................



6 Maret 2006

Aku ingat saat itu aku dalam masa pencarian. Masa-masa ingin tahu banyak hal. Terutama mengenai hakekat kehidupan. Aku seorang perempuan berumur 19 tahun. Setelah lulus dari SMA di sebuah kota kecil di perantauan. Dengan berbekal sedikit kecerdasan aku di terima menjadi mahasiswa di sebuah universitas Negeri di Malang. Aku aktif di sebuah organisasi Pers Mahasiswa (persma). Disanalah aku berbincang tentang banyak hal yang baru bagi duniaku yang sebelumnya sangat monoton. Hampir setiap hari aku menghabiskan malam-malamku dengan diskusi. Sampai kepala ini mau pecah rasanya. Walaupun pada akhirnya aku juga belum puas. Aku merasa semua hal yang mereka bicarakan tentang idealisme dan tetek bengeknya hanya sebatas wacana saja. Pada realitasnya sebagian besar dari mereka tidak pernah menjadikannya sebagai semangat untuk menjalankan kehidupan.

Ketidak puasan itu memaksaku untuk berproses di luar ruangan berukukuran 4 x 5 m itu. Dalam pencarian itu aku singgah di beberapa tempat. Tempat itu orang-orang mengatakan sebagai kampung pemulung. Sebutan itu muncul karena sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai pemulung. Seringkali selepas kuliah aku bertandang kesana. Disana nampak sebagian besar rumah yang ditempati berdinding cukup tipis karena berbahan kardus. Walaupun sudah ada juga yang permanen, namun hanya satu dua dan ukurannya sangat sempit untuk sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang suami istri dan 6 orang anaknya.

Disana aku bertemu dengan beberapa orang. Tapi diantara sekian banyak orang disana aku cukup akrab dengan seorang gadis belia bernama Nurul. Ia kelas 2 SD saat itu, umurnya kurang lebih 8 atau 9 tahun. Nurul lah yang mengajakku berjalan-jalan singgah ke rumah tetangga-tetangganya. Di kampung itu Nurul tingggal dengan Bapak, Ibu dan ke lima adiknya dalam kondisi yang sangat terbatas. Bapaknya sehari-hari bekerja sebagai pemulung barang-barang bekas seperti kardus dan botol-botol bekas. Ibu Nurul juga seorang perempuan yang sagat giat bekerja, tentunya ini bukan permasalahan karir, tapi terlebih karena adanya tuntutan hidup yang sangat terbatas. Beliau berjualan es di teras rumahnya yang hanya berukuran 1 x 1 meter. Keluarga ini cukup ramah ketika aku singgah. Belum ada 5 menit aku duduk beralaskan tikar di ruangan yang katanya kamar tamu, namun yang aku rasa lebih mirip gudang. Aroma pop ice jualan Karsiah, ibu Nurul tercium cukup kuat karena sudah tersaji di hadapanku. Sambil menikmati minuman dingin itu, aku ngobrol ngalor-ngidul dengan Nurul.

Aku senang melihat Nurul, semangat hidup nampak terpancar dari wajah mungilnya. Namun disisi lain, pada usianya yang masih belia ia harus membanting tulang juga untuk membantu kedua orang tuanya. Pagi-pagi benar ia sudah harus bangun untuk membantu ibunya mempersiapkan dagangan. Setelah itu ia bergegas berangkat sekolah dengan membawa tas lusuh satu-satunya berisi buku-buku dan alat tulis yang ia miliki. Tidak seperti umumnya anak-anak seusianya, biasanya sepulang sekolah anak-anak seumurnya bisa nonton TV, tidur siang atau bermain bersama teman-temannya. Untuk Nurul kebiasaan itu tidak berlaku. Ia harus berangkat mengais rejeki dengan bermodal ecek-ecek terbuat dari tutup botol soft drink yang ia buat sendiri dengan suara melodi yang pas-pasan. Ia berjalan dari rumah ke rumah dengan harapan ada yang mau memberikan 100 ataupun 200 rupiah yang mereka miliki sebagai bayaran jasa hiburan yang ia berikan. Tidak perlu berbelas kasihan, karena Nurul melakukannya nampak tanpa beban. Ketika aku tanya, katanya dia senang melakukan pekerjaan itu. Sekalian juga untuk hiburan.

Tidak jauh dari tempat Nurul tinggal, hanya sekitar 50 meter adalah komplek perumahan yang cukup megah. Tapi tidak pernah aku lihat ada yang keluar dari rumah-rumah itu untuk sekedar ngobrol apalagi untuk berderma. Kesenjangan sosial nampak sangat jelas disana. Jaman ini memang sudah sangat terbalik yang kaya jadi semakin kaya, yang miskin jadi semakin miskin. Tanggung jawab sosial yang mestinya diemban oleh setiap individu sudah mulai memudar.

Aku mulai banyak berpikir sejak pulang dari kampung itu, aku masih sangat beruntung tidak dalam kondisi semacam itu. Anak seusia itu harus pula membanting tulang untuk membantu orang tuanya membiayai 5 orang adiknya. Aku merasakan kehidupanku selama kuliah jadi lebih hidup. Walaupun secara finansial aku juga mepet, minimal aku masih bisa bersenda gurau disana.


21 Mei 2006

Saat ini aku menemukan dan singgah di tempat baru. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang aku pikir sosok yang langka kutemui di jaman yang carut-marut ini. Ia bekerja sebagai Pedagang Kali Iima (PKL) buku plus. Plus itu maksudnya, ia merangkap juga jadi seniman dan budayawan. Awalnya aku hanya sekedar ikut nimbrung di forum diskusi bentukannya saja. Aku cukup tertarik pada apa yang dia bicarakan. Orang-orang memanggilnya Aris. Tentunya aku tidak memanggil dengan nama itu saja, aku memanggilnya ‘Mas Aris’. Penampilannya memang cukup mencerminkan citra seniman ataupun budayawan pada umumnya. Rambut gondrong, beranting sebelah dan terkadang bercelana bolong-bolong dengan kaos hitam yang sering nampak ia kenakan.

Sebenarnya awalnya aku cukup takut juga, mungkin yang lebih tepat sungkan mau ngobrol dengan dia. Gimana nggak sungkan gayanya cuek pool…..Walaupun sebenarnya saat kondisi serius dia sangat familiar. Tapi aku cuek saja, memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang cukup lama jadi pertanyaan di kepalaku. Pokoknya kesempatan ini benar-benar ingin aku gunakan untuk proses.

“Mas Aris ya..?”, Sapaku seraya memperkenalkan diri.

“Saya Emil mas, dari Universitas Merak”.

“Oh… dari mana mbak.?”, tanyanya.

“Kebetulan saya aktif di Persma mas”, jawabku menjelaskan asal muasalku.

Selanjutnya, kondisi psikologisku sudah lumayan stabil. Jadilah obrolan yang lumayan panjang dengan pertanyaan seputar forum diskusi yang ia pelopori. Namun Kemudian obrolanpun terpaksa harus aku akhiri. Ketika ada beberapa orang yang datang bertamu ke kios non permanen miliknya. Sepertinya sama-sama seniman kalau dilihat dari penampilannya. Akhirnya karena dia juga harus menyambut tamunya yang baru datang. Obrolan pun aku cukupkan dengan kalimat permisi.

“Terima kasih mas, aku balik ke kampus dulu soalnya ada kuliah “., pamitku memberikan alasan. Seraya menaiki motor merahku yang sudah butut, aku beranjak pergi menuju kampus.

Selama perjalanan pulang ada satu obrolan yang terfikirkan. Dia banyak menyinggung masalah fungsi manusia dan tanggung jawab sosial sebagai manusia. Kondisi yang aku temui saat ini, memang banyak orang yang cenderung berfikir tentang kepentingan pribadinya. Padahal seharusnya kedua tanggung jawab itu harus berjalan seimbang. Aku jadi semakin yakin bahwa persinggahanku di dua tempat itu tidak salah. Aku jadi tahu kondisi realitas sosial yang ada disana.


4 Juli 2006

Perjalananku juga menemukan sesuatu yang umumnya ditemukan perempuan seumurku. Cinta, ya… cinta katanya. Diproses ini menurutku cukup rumit. Banyak benturan dalam diriku. Awalnya banyak pertanyaan apakah rasa ini hadir karena karunia-Nya atau hanya emosi sesaat. Pada proses ini menumbuhkan keyakinan ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Perjalanan ini begitu banyak memunculkan pemikiran. Apa ya, katanya cinta itu adalah segalanya. Entahlah…. mengapa banyak hal yang menjadi tanda tanya besar di kepalaku.

Aku mencoba menelusuri akar munculnya rasa itu. Walaupun kata orang cinta itu tidak bisa dirasionalkan. Karena Cinta itu diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk rasa. Jadi yang bicara bukan rasio tapi hati. Wah…. untuk yang satu ini aku memang tergolong kuper, soalnya aku pikir masalah yang seperti ini ada waktunya sendiri untuk dipikirkan.

Terkadang aku juga masih konservatif untuk urusan cinta. Walaupun aku banyak memperbincangkan tentang feminisme dan kekuatan perempuan, tapi aku cenderung pasrah. Artinya kalau aku lagi ngobrol sama orang tuaku, aku selalu bilang, aku siap untuk dijodohkan asalkan melalui proses dulu, istilahnya diberi waktu untuk saling mengenal. Karena menurutku yang namanya cinta sampai menuju fase pernikahan itu siklus wajar setiap manusia. Yang membedakan hanya esensi yang difahami oleh setiap manusianya. Jadi menurutku bukan masalah orangnya tapi yang penting pemikirannya. Itulah sebabnya kenapa teman-temanku mengatakan bahwa aku termasuk perempuan yang punya kriteria aneh.

Menurutku laki-laki itu menjadi menarik untuk diajak jalan kalau ia punya daya intelektual yang cukup. Semakin pintar laki-laki itu, ia akan nampak semakin menarik di mataku. Sebaliknya menurutku kalau hanya mengandalkan fisik saja, bagiku gak bakalan berumur lama. Ya karena inti dari setiap hubungan adalah pada kualitas manusianya. Kalau masalah fisik menurutku itu bisa dipoles secara instan. Walaupun salah satu temanku juga protes atas pendapatku ini.

“ Kalau memang sudah jelek aslinya, ya tetap saja jelek!”, protesnya.

“ Ya… Memang butuh kecerdasan khusus untuk ngerti pendapatku ini”, selorohku dengan nada bercanda.

Jadilah aku tertarik sama mahluk yang satu ini. Menurutku tidak banyak laki-laki yang punyai pemahaman tentang esensi hidup seperti dia. Ini aku fikirkan secara rasional. Sampai saat ini cukup manis perjalananku berkasih dengannya. Dan aku jatuh hati padanya hanya lewat sebuah puisi yang dia berikan padaku :


Untuk Mutiaraku


Aku mencintaimu sebab Kau adalah manusia

Aku mencintimu sebab Kau adalah wanita

Aku mencintaimu bukan karena parasmu

Aku memilihmu bukan karena materimu

Sebab pengetahuanlah untuk memahami esensi hidup

Sebab kecerdasanlah untuk mencari makna hidup

Dan keikhlasan adalah jalan (sandaran)

Untuk pertanggung jawaban kehidupan



17.00 WIB

Realitas yang aku temui dibeberapa tempat yang aku singgahi benar-benar menjadi sebuah pemikiran. Aku sangat beruntung kalau aku pikir. Diposisi ini aku tidak dituntut untuk menghidupi siapa-siapa, hanya dituntut untuk serius belajar saja. Aku merasa nyaman ada disana bersama mereka, aku merasakan sesuatu yang membuat akal dan hatiku berdialektika dengan sangat serius

Ketika kembali ke kampus kondisi jadi berubah. Aku banyak melihat kondisi-kondisi yang sebaliknya. Kenyamanan yang aku temukan, tidak banyak yang sempat berfikir tentang realitas di luar. Yang aku temukan adalah citra-citra kenyamanan saja. Aku melihat teman-temanku cukup sibuk dengan Hp di tangan mereka daripada sekedar menyapa teman disebelahnya. Lebih asyik mendengarkam Mp3 dengan earphone di telinga daripada mendengarkan diskusi. Lebih banyak mengamati film terbaru apa yang muncul di bioskop-bioskop daripada mengamati realitas sosial di seputarnya. Dosen yang katanya pendidikpun hari ini tak banyak membantu membentuk kami menjadi manusia. Di ruang kuliah yang banyak diperbincangkan sebagian besar hanyalah masalah materi dan kesempatan-kesempatan kerja. Nilai pendidikan yang katanya bisa menjadikan manusia menjadi manusia sejati sudah tidak aku temukan.

Wajar saja akhirnya ketika hampir di setiap profesi ini aku tidak menemukan sesuatu yang mencerahkan, malah menjadikan pikiran semakin suram. Itulah juga alasan mengapa aku mencari ruang diluar kampus untuk memproses diriku sendiri. Sampai saat ini aku memang belum menjadi manusia sejati, tetapi minimal aku sudah melihat realitas manusia-manusia sejati di seputarku. Aku bermimpi suatu saat bisa menjadi seperti mereka. Artinya menurutku pekerjaan dan status sosial bukanlah permasalahan, akan tetapi esensi dari kehidupan itulah yang harus difahami. Karena inilah menurutku ruh kehidupan manusia di dunia. Tanpa itu, semuanya jadi kering dan hampa. Kita hanya akan menemukan kekosongan

Walaupun aku perempuan, aku bukanlah sosok yang menerima begitu saja kondisi yang aku jalani sekarang. Aku masih punya bayangan bisa menjadi perempuan yang punya daya intelektual yang kuat. Tidak berhenti hanya sekedar berbicara mengenai dapur, kasur dan sumur. Aku ingin menjadi kebanggaan anak-anakku kelak. Menjadi sosok yang mereka idolakan, jadi tidak perlu Madonna, Angelina Jolie ataupun Tamara Blezensky yang diidolakan. Cukup ibu mereka yang mereka idolakan. Pada saatnya, aku yakin mampu menjadi seperti itu. Bayangan akan sosok perempuan yang punya kekuatan akal dan hati.. Karena aku pikir tidak banyak perempuan yang mampu mencapai taraf itu. Pada saatnya aku yakin bisa mewujudkannya.

Perjalanan ini masihlah sangat panjang, prosesku akan terus berjalan. Tak hanya di beberapa tempat ini. Mungkin akan banyak tempat-tempat lain yang akan aku singgahi. Mungkin banyak orang lagi yang akan aku temui. Karena menurutku realitas itu sendirilah guru yang sejati.



*Pegiat Forum 28-an Kampung Budaya Malang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar