Jumat, 27 Februari 2009

Cerpen: Azizah Hefni

PINTU YANG TERKUNCI
Pemenang II Lomba Menulis Cerpen Kepemudaan MENPORA dan CWI 2007


Ia pergi dengan gayanya yang gagah. Tangannya meraih kemeja dan celana, lantas mengenakannya. Ia sisir rambutnya, ia tuangkan minyak pelicin di atasnya. Laki-laki itu meraih jam tangan di meja sisi ranjang tempatku rebah, menyemprotkan minyak wangi, memungut tas, dan memakai sepatu. Tanpa menolehku yang pura-pura terpejam, ia membuka pintu terkunci itu. Tak ada bunyi derit. Cukup halus ia membuka dan menutupnya. Barulah suasana tenang. Seperti lautan yang sepi gulungan ombak. Seperti pasar yang jelang petang. Seperti sekolahan yang ditinggalkan para siswa.
Aku beranjak, membuka selimut yang sedari tadi menutupiku. Selimut ini kugunakan untuk mendukung peranku di hadapan laki-laki gagah tadi. Aku selalu berperan sebagai perempuan yang masih nyenyak dengan rangkaian mimpi bila menjelang pagi. Padahal aku melihatnya berkemas, melihatnya bergegas. Sampai dia berlalu dari balik pintu terkunci itu. Sampai kudengar deru motor dari luar rumah. Sampai kurasakan sepi panjang kembali hadir di rumah ini.
Langkah lemah. Berkali-kali aku mendesah. Semalam aku telah selesaikan tugasku lagi. Setelah beberapa malam lalu aku juga telah selesaikan tugasku. Sungguh aku letih, aku perih. Tubuhku makin banyak deret-deret luka merah muda. Di leher, bawah puting, punggung, dada, selakangan, dan kemaluan. Laki-laki itu masih tetap dengan gaya harimau buas menyerangku. Ia lupa, bahwa sebetulnya aku adalah kayu apung di atas lautan. Tak bisa apa-apa, tak tahu apa-apa. Mungkin dalam matanya aku adalah rusa gemuk, sehingga ia menyantapku puas-puas, mengulitiku, mencucup keringatku, menyedot energiku, membobol isi perutku dan membuat garis-garis darah tertahan di punggung dan leherku. Tak hanya itu, ia merenangi sumurku yang berlumut tak sudah-sudah. Seribu kali aku mengerang, seribu kali pula ia berganti gaya. Aku nyaris pingsan, tapi ia memintaku bertahan.
Di depan sebuah cermin, aku melihat diriku yang telanjang. Tubuhku banyak goresan, banyak darah-darah tertahan. Paling banyak di bagian kemaluan. Mataku berat dan serat. Aku seperti gunung yang mual dengan panas dalam tubuhku. Dalam tubuhku, cairan mendidih. Sementara tubuhku amat letih, tak bisa menahan rasa nyeri dan mual yang kian memutih. Kutatap diriku yang sayu dalam cermin. Tatapan mataku redup. Bibirku pucat. Nafasku terengah. Beberapa jenak aku jatuh sampai membentur cermin. Tubuhku tergeletak begitu saja. Sebelumnya, aku sempat melihat air mataku menetes dua butir. Setelah itu gelap. Gelap yang sungguh pengap.
* * *
Jam dinding di kamar masih terus menambah angka. Sedang ruangan berpintu itu masih berdiri dengan angkuh. Waktu dan ruangan seolah-olah berkolaborasi mempermainkanku. Hari-hariku tetap saja hambar. Tak ada tambahan warna atau rasa baru. Semuanya seperti ini. Hitam. Putih. Hitam lagi. Putih lagi. Padahal, berapa banyak sebenarnya warna yang ada dalam plastik kehidupan? Bukankah hidup adalah ragam? Pilihan? Aku tak tahu, kenapa nasibku begitu angkuh. Ia tak izinkan aku memilih apapun. Aku tetaplah perempuan dalam ruangan, menunggu detak-detak waktu yang terus melangkah tanpa bosan, menunggu laki-laki gagah itu pulang dari kerja, dan memintaku rebah di atas tempat tidur dengan telanjang. Sementara pintu itu tetap tertutup. Seolah ada yang menguncinya dari luar. Padahal kunci di lubang pintu masih menggantung. Aku bisa saja membukanya sekali waktu. Tapi aku selalu menyaksikan Mikail mengawasi gerakanku. Siap menyerang bila berani lewati batas pintu.
Kuobati luka memar akibat cakaran atau goresan kuku panjang laki-laki gagah tadi. Sesekali aku merintih pelan, sesekali aku sontak tersentak karena nyeri. Bahkan sesekali aku terpaksa menangisi tubuhku yang kian terluka. Ia melemparku tiap pagi serupa melempar handuk dari bahunya. Ia memungutku tiap malam serupa ia memungut air dalam gelas karena haus. Ia membiarkanku sepanjang siang dan sore, serupa ia membiarkan asap keluar dari lubang knalpot motornya. Entahlah, sebenarnya ia anggap aku apa. Apakah sebagai perempuan yang menyandang gelar istri atau cuma sebuah benda? Benda yang tak bersuara. Benda yang terkunci di balik pintu ruangan yang angkuh.
Telpon berdering. Tubuhku yang terbalut kain tipis sedikit terkejut. Apakah laki-laki gagah itu yang menelponku? Ataukah orang lain? Kotak obat-obatan kuletakkan. Aku bergegas menuju meja telpon.
“Hallo?”
“Ini aku, Gesti”
Aku mengangguk. Dia tetanggaku. Aku selalu melihatnya keluar rumah setiap pukul tujuh pagi. Ia pekerja keras. Posturnya yang cantik membuatnya diterima bekerja pada sebuah hotel bintang lima di kota. Rumahnya tepat di depan rumahku. Pernah aku beberapa kali berbincang dengannya di daun jendela. Saat itu ia memintaku untuk keluar supaya bisa berbicara dengan bebas. Tapi aku mengatakan, kalau ruangan yang kuhuni adalah ruangan yang angkuh. Pintu tak pernah mau terbuka. Ada penjaga—walaupun entah apakah itu—yang berdiri dan selalu mengawasi gerakanku.
“Aku melihat suamimu bersama dengan seorang wanita ke restoran hotel tempatku bekerja”
Jantungku tiba-tiba berhenti. Tak hanya jantung, semua organ yang berdenyut seperti memberikan kesempatan waktu pada otakku untuk terkejut. Tapi, sepanjang pikiranku berjalan, hanya menemukan gang-gang buntu. Aku tak bisa pikirkan apa-apa lagi. Hanya hatiku yang tiba-tiba tercekat, merasakan sesuatu yang berat.
“Dan...dan aku...” Gesti menyetop kata-katanya. Aku menunggu dengan ketegangan luar biasa. “Aku melihat mereka sangat mesra. Bahkan...” ketegangan itu memuncak. Aku seperti narapidana yang mendengarkan keputusan hakim tentang sebuah hukuman mati. Satu-satu varian tubuhku melonjak ketakutan. Inilah ketegangan yang melahirkan sepi. Sepi yang siap dengan udara luka masuk di setiap sudut jendelanya. “...mereka memesan sebuah kamar di hotel itu...”
Tit! Aku mematikan benda yang menghadirkan suara Gesti. Barulah kurasakan semuanya berputar-putar, mengaduk-aduk isi tubuhku sampai datar. Baru sekali ini aku mendengar kalimat baru. Kalimat yang kejam. Langit siap copot dari atap yang menggantungnya. Aku nyaris jatuh pingsan seperti tadi pagi. Tapi lagi-lagi, aku tertahan sesuatu yang bulat dari bilik nuraniku. Itu adalah kumpulan diamku menilai hidupku pasca pernikahan. Ketidakmengertian, kepasrahan, ketidakberdayaan, kelemahan...Benar, semua menumpuk membentuk bulatan-bulatan kasar serupa batu bayangan dalam ruanganku (ruanganku ini memang dipenuhi batu abstrak sehingga membuatku sulit bergerak). Aku ingin muntah. Aku tak betah.
Tumpahlah. Segalanya menjelma aliran air dari mata yang tak punya muara. Ini lebih deras dari tsunami yang melipat ratusan hektar daratan. Lebih sakit dari seribu izrail mencabut ruh jiwa yang menggigil. Kesakitan apakah. Ketidakmengertian apakah. Ya Tuhan, bau neraka sepertinya sudah mulai masuk ke dalam cuping hidung sempitku. Dia tak sekedar melemparku seperti handuk dari lingkaran lehernya, ia sekarang memotong-motong tubuh lusuhku untuk dijadikan alas kaki atau penghilang debu.
* * *
Pintu masih terkunci. Ini kali pertama malam tanpa laki-laki gagah. Pintu masih diam dengan keangkuhannya. Ia sama sekali tak iba melihatku menangis sendiri. Sebab laki-laki gagah tak datang, makin gelisahlah aku. Layaknya gelombang lautan, aku bergulung-gulung meruntuhkan diri. Diriku adalah manusia yang terbentur berbagai macam perasaan, pikiran, dan peristiwa. Semuanya tak pernah kumengerti. Satupun tidak. Aku hanya mengerti, bahwa laki-laki gagah memerintahku untuk diam di dalam rumah, menyediakan makanan dan minuman, membersihkan perabotan, menunggu pagar terbuka dan pintu kamar angkuh itu melebar. Aku juga hanya mengerti bahwa setiap ia memintaku untuk rebah di atas ranjang, wajiblah bagiku rebah. Tanpa gerakan penolakan apalagi perlawanan. Sudah kewajiban, begitu ia menjelaskan. Bahwa seorang perempuan yang dalam sarang laki-laki adalah budak. Budak yang harus menahan sakit dan lelah.
Semua kuanggap amat sakral. Seolah ada jagal siap memotong leherku bila aku meronta. Aku tak punya siapa-siapa sebagai labuhan. Aku hanya punya sepi yang terluka ini, dalam ruangan berpintu yang selamanya terkunci untukku ini. Aku istri yang dibelinya atas nama Tuhan. Dan ia katakan, kalau fungsiku adalah sebagai penafkah batinnya. Cuma itu, tak ada yang lain.
Sampai malam berkemas dan pagi menyongsong lekas. Laki-laki gagah tak juga datang. Pikiranku kian mengambang. Aku ingin membuka pintu yang seolah terkunci itu dan mencarinya. Apakah benar laki-laki gagahku masih bersama perempuan asing dalam kamar hotel? Dunia ini ada untuk dikendalikan, tapi setiap kisah yang terbentang di wilayah duniaku seperti mengendalikanku. Aku tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan. Entah karena statusku, entah karena ketakutanku sendiri. Tapi ketahuilah, aku sungguh khawatir. Khawatir laki-laki itu benar-benar akan meludahi namaku sebagai manusia!
* * *
Malam kedua, ketiga dan keempat. Baru malam ini, malam keempat, tiba-tiba aku mendengar suara pagar rumahku terbuka. Aku bangkit dan mengenakan pakaian setelah separuh hari telanjang. Gores-gores luka akibat cakaran kasar laki-laki gagah itu sudah mengering. Kulitku kembali padat. Kemaluanku kembali rapi. Selakangan juga sudah tak mengeluarkan darah tertahan. Sementara aku merasakan suasana ringan karena tak ada lagi lelah. Kuintip sumber suara dari balik jendela. Kulihat laki-lakiku pulang dengan motornya. Wajahnya tetap sangar. Matanya tetap menyembunyikan benda tajam. Aku menutup tirai dan duduk tegang di bibir ranjang.
Pintu terkunci itu terbuka. Laki-laki gagah dengan tas punggungnya berdiri tegap di tengah lubang keluar masuknya udara. Ia menatapku lama. Aku menunduk.
Tak seperti biasanya ia berjalan lemas. Ia lempar tas dan sepatu. Tanpa sepatah katapun, ia mendekati ranjang. Aku terpejam. Menunggu pecah sesuatu yang bungkam. Sementara pintu perlahan-lahan tertutup. Sejujurnya karena angin, namun aku kira karena ulah Mikail yang siaga di depan pintu. Ia rebah begitu saja. Pejamkan mata begitu saja. Mendengkur begitu saja. Tanpa bilang, “Bersiaplah, buka pakaianmu! Layani aku dengan baik!”
Aku menelan ludah.
* * *
Laki-laki gagah tak pernah menjadikanku santapan makan malamnya lagi. Hari-hariku terasa begitu longgar. Tapi kelonggaran ini bukan malah membuatku bebas bernafas. Makin banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Apakah laki-laki gagah sudah mulai merasa kalau selama ini ia telah melukai tubuhku? Kenapa ia tak pernah berbicara denganku lagi? Kenapa dia tak melihat ulahku lagi?
Dunia ini memang selalu bergeser dan berubah. Seperti waktu, ia melangkah mencari hal dan suasana baru. Tak ada yang tahu ada apa dengan esok, nanti malam, nanti sore, beberapa jam kedepan, atau bahkan beberapa detik kemudian. Semuanya bergeser tanpa suara, membuat makin linglung manusia-manusia. Lantas apa tugasku? Bukahkah ia bilang, tugas perempuan dalam sangkar laki-laki adalah pelayan? Budak? Bila tak lagi difungsikan, lantas?
Nampaknya aku diubahnya menjadi seonggok benda tanpa guna.
Malam ini, aku heran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba menghardikku. Ia menjambak rambutku, menatapku dengan hunusan pandang beracun. Aku terbata, tapi masih bisa bertahan. Kakiku tak selemah dulu. Kakiku kuat menyangga tubuhku. Beberapa hari ini, luka di tubuhku memang memulih. Dan aku rasakan aku sedikit semangat.
“Kau sudah tidak berguna!” Kurasakan percikan ludahnya masuk ke telaga mataku yang gugup. Bau alkohol busuk membuatku mual. “Pergi sekarang!!”
Tanpa tahu apapun, ia memerintahkanku pergi. Ia melemparku ke lantai. Sampai kepalaku membentur tembok. Sampai kakiku membentur ranjang. Sampai tanganku membentur meja rias. Darah mulai mengalir lagi.
Akhirnya, sekalipun tersengal, aku mencoba berdiri. Matanya yang meradang kulawan dengan keluguan air mata. Kukatakan, “Kenapa kau menyuruhku pergi? Apa memang begitu aturannya?! Bukankah kau sendiri yang bilang, bahwa aku harus menjadi penghuni tetap ruangan ini, sekalipun kau berangkat bekerja?! Pintu itu selalu mengunciku, dan aku selalu terima dia mengunciku!”
“Ya, aturannya memang begitu! Kau sudah bebas pergi dari sini! Bahkan aku memerintahkanmu untuk tak kembali ke rumah ini!!”
Maka, untuk pertama kalinya, aku melewati pintu yang mengunciku selama setahun itu. Aku diusir laki-laki gagah dengan begitu tak manusiawi. Bibit dendam muncul pada mata batinku yang telah ia lukai. Aku baru tahu, kalau cinta tak pernah kukulum selama ini. Yang kukulum adalah kepasrahan yang selalu ditertawakan kegagahannya!
* * *
Tapi setiap malam aku mengintai rumahku. Dengan taksi atau mobil tumpangan tetangga baruku, selalu kuselipkan mataku pada dinding rumah bercat coklat. Selalu ada motor itu. Selalu ada sandal itu. Selalu ada cahaya lampu itu.
Pertemuan dan perpisahan tidak pernah berada dalam jalan yang sama untuk bisa saling menjelaskan keduanya. Ia datang pergi seperti angin. Ia tinggalkan kotoran atau emas dalam tungku tanpa mengatakan untuk apa. Aku dipertemukan dan tiba-tiba dipisahkan. Tanpa ada kejelasan kenapa aku dipertemukan dan kenapa aku dipisahkan. Semuanya menjadi garis nasib yang cukup kejam untukku, entah untuk laki-laki gagah itu. Aku selalu ingat ulah binatang bila melihat laki-laki gagah keluar dari pintu yang terkunci. Kucing yang bersetubuh di jalan, ayam yang bertahi di jalan, sapi yang kencing di jalan dan sebagainya. Wanita yang ia rengkuh bahunya itu diizinkannya melewati pintu yang terkunci. Ia juga diizinkan untuk berjalan-jalan di sebuah pasar swalayan atau diskotik kota. Kukira ia telah memiliki ragam warna. Ia telah mengenal merah, hijau, kuning atau bahkan campuran-campuran. Matanya senantiasa berbinar, kulitnya masih padat dan halus. Aku yakin, tak ada darah di sekitar tubuhnya setiap kali usai melaksanakan tugasnya melayani laki-laki gagah. Ada perbedaan perlakuan. Dan perbedaan itu justru ada pada jenis manusia yang sama. Perempuan. Wanita. Aku dan wanita itu
Dia jauh lebih cantik. Jauh lebih muda. Benar, setiap hari aku mengawasi keduanya. Setiap hari aku mencari jawaban atas nasib yang selama ini kuterima. Aku selalu pulang dengan hal baru. Hal yang tak pernah kutahu sebelumnya.
Sampai pada malam ini. Aku melihat laki-laki gagah mencium wanita muda itu di depan pagar rumah. Cukup lama. Aku ingat ketika ia menciumku setelah tiba pulang kerja di ruangan terkunci itu. Menciumku dengan tangannya yang terus bergerak menggaruk punggungku yang telanjang. Setiap garukan menghasilkan goresan. Setiap goresan mengalirkan darah yang tertahan. Aku menahan sakit itu. Aku tak lupa, kalau laki-laki gagah selalu lupa memotong kukunya. Tapi lihat dia sekarang, dia mencium wanita itu tanpa menggerakkan tangannya. Ia hanya mencium, menyedot cinta dalam cawan merah miliknya.
Setelah itu pintu dibuka. Keduanya masuk. Ini kesekian kali kusaksikan laki-laki gagah dan wanita asing memasuki kamar pengantinku dulu. Lampu padam. Entah apa yang terjadi.
Aku menjawil sopir taksi yang tertidur. Mengawasi memang membosankan. Ia tergagap dan segera menyalakan mesin. Aku meluncur ditelan malam. Mataku mengalirkan mata air dendam yang amat dalam. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Pastilah wanita dan laki-laki gagahku itu keluar dari pintu yang terkunci itu dengan tawa dan keriangan yang merubah warna suram dunia. Kuputuskan aku tak akan mengawasi mereka lagi. Sudah saatnya aku panen dendamku: membuat pintu terkunci untuk laki-laki yang baru!
SELESAI

Malang, 01 September 2006

Puisi-Puisi : Ragil Sukriwul

(www.ragil-sukriwul.blogspot.com)


Lagu Tidur

Tidur tidurlah
esokkan datang bersama
matahari yang sinis dan angin masam
Tidur tidurlah
esokkan mampir dengan senyum
ribu batu dan debu
Tidur tidurlah
lelapkan semua mimpi
tentang dongeng esok hari

1999

Ina-ama Umbu-rambu

Di bawah terik sang surya
di atas gersang tanah
batubatu karang dan hamparan pantai
Aku mulai bernafas dan merangkak
berlari bersama Umbu tak lupa Ama merangkul
disanding Ina dan merdunya senandung Rambu
kami berlagu hingga rumputan kering menyegar
menatap keharmonisan itu
Tiba tiba atau mungkin perlahan
kabut pekat menggiring buta sepasukan
awan hitam yang menyirami bumi dengan
angkara bersama kebengisan purba
Rangkulanku renggang terkoyak kepal kayu
nyanyianku tersamar tertutup hati batu
saling menatap gamang kita terpaku kaku
Adakah itu keinginan? Hingga memerah alangalang
O sang maha kuat tendanglah badai ini
usir kepekatan ini
Mari kita hembus nafas perlahan
tenangkan angin
Ama, teruslah berlari umbu kan songsong
dan kita terus berestafet sampai akhir garis
Ina, bawalah selendang seka peluh dan
bersamamu Rambu tuak manis lepas dahaga
kita raih bersama itu kemenangan
dalam kesabaran

20 juli 1999 (pasca kerusuhan Kupang)

Mendekonstruksi Sentralisasi Sastra

Oleh Yusri Fajar

(Penyair dan Pengajar Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang)

( http://jiwasusastra.wordpress.com)

Prolog

Eka Budianta, pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga dikenal sebagai penyair, menuturkan bahwa ketika umur 15 tahun, dia telah berkenalan dengan komunitas sastra di Kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang (IKIP, sekarang Universitas Negeri Malang). Sebulan sekali di Perguruan Tinggi tersebut diadakan pembacaan puisi, pentas teater dan diskusi sastra dalam acara malam purnama. Saat itu dia berkenalan dengan para sastrawan Malang yang punya nama nasional seperti alm. Hasjim Amir, Jasso Winarto, dan Henri Suprianto yang mengajaknya berlatih membaca puisi dan pentas. Menurut Eka, sejak dulu kala, kota Malang sudah punya sanggar seni lukis, seni tari dan kelompok-kelompok baca puisi.

Awal tahun 2001 di Universitas Muhammadiyah Malang, saya pernah menghadiri acara bedah puisi yang didahului dengan pembacaan puisi oleh beberapa peserta yang hadir. Pembicaraan tidak hanya terpusat pada apresiasi teks puisi baik dari aspek instrinsik maupun ekstrinsik namun juga melebar pada diskursus determinasi dan resistensi komunitas dalam kaitannya dengan proses kreatif. Saya melihat ada kegairahan dari para pegiat sastra yang datang meski saya juga sekaligus mempertanyakan sejauh mana kegairahan itu akan terus menyala. Di forum itu saya bertemu dengan penyair muda Malang, Ragil Sukriwul, dan pegiat teater jebolan ISI yogyakarta, Jumali, yang dua-tiga tahun berikutnya sering saya jumpai dalam diskusi-diskusi pasca pentas teater dan beberapa event sastra dan budaya lainnya di Malang.

Tahun 2004-an di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya, saya bersama beberapa mahasiswa membidani kelahiran komunitas kesenian bernama teater O ( kini berubah nama menjadi teater Lingkar) yang pada perjalanannya tidak hanya berkonsentrasi pada proses kreatif berteater tetapi juga bersastra. Beberapa kegiatan pembacaan puisi, bedah prosa, menghadirkan sastrawan, sampai mengadakan sayembara penulisan puisi pernah dilakukan. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang bergiat di komunitas tersebut pada perjalanannya juga mampu mempublikasikan puisi-puisinya di media masa. Geliat komunitas sastra selanjutnya saya temukan di kegiatan “arisan reboan (karena dilakukan malam rabu)” di Unibraw, yang di dalamnya berkumpul para pegiat teater dan pegiat sastra yang saling bergantian membaca puisi, bikin short performance, dan juga menggelar diskusi. Sastra saya lihat menggeliat di sana meskipun pada dasarnya geliat itu tak harus bertumpu pada ada dan tidak adanya sebuah komunitas.

Menurut saya, jika sastra ingin dimasyarakatkan dan ‘dibudidayakan’, gelombang sastra terpusat, bertumpu pada wilayah-wilayah tertentu, dan terlalu bersandar pada eksistensi para sastrawan tua atau yang sudah punya ‘nama’ sudah saatnya ‘dideskontruksi’. Karya sastra bisa lahir dari siapapun dan manapun termasuk dari wilayah yang tak dilihat dan kurang diperhitungkan. Di tengah hutan rimba yang jauh dari keramaian bisa jadi banyak bunga bagus dan menakjubkan, tetapi karena tak ada orang yang melihat maka bunga dan tanaman tadi tak terekspos keluar meskipun pada hakekatnya ia tetap sebagai ciptaan yang indah dan bagus. Karya bagus bisa lahir dari penulis tak terkenal dan dari daerah yang diremehkan. Kualitas karya juga tak bisa digaransi seratus persen oleh usia pengarang. Oleh karena itu gelombang dan geliat sastra itu harus dilihat sebagai kontruksi yang bisa hidup di berbagai habitat manusia dengan wilayah menyebar.

Namun ‘dekonstruksi’ sentralitas sastra dan penggairahan kehidupan sastra di wilayah-wilayah ‘terpinggirkan’ dari peta besar sastra sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Gerakan dan karya-karya sastra pedalaman yang sempat menarik perhatian karena semangat “revitalisasi sastra pedalaman” misalnya, sebagaimana diungkapkan Faruk, ternyata tak memiliki perbedaan signifikan dengan karya-karya dari pesisir dan tak mampu melahirkan revolusi bersastra dan cara berkesusastraan yang mandiri. Bahkan menurut pengamatan saya kini sastra pedalaman sedang mengalami hibernasi. Secara kultural bisa dikatakan belum mengakar dan belum mampu mendorong perubahan signifikan. Terlepas dari penilaian ini, minimal sastra pedalaman telah meletakkan pondasi untuk melakukan counter hegemoni dan melecut generasi mutakhir dari daerah-daerah untuk terus bereskplorasi meski ‘politik ordinasi dan subordinasi’ terus membayangi.

Post-modernisme memang mengisyaratkan sesuatu yang menyebar, tidak terpusat dan terkungkung mainstream tertentu. Dan menurut saya, di negeri yang plural seperti Indonesia, sesuatu yang terpusat dan seragam justru memang sangat kontraproduktif dengan hakekat keberagaman dan keserbamungkinan cara bersastra. Oleh karena itu warna dan gelombang sastra dari berbagai daerah dengan penulis-penulis muda perlu dibaca dengan seksama.

Memintal karya ‘tanpa sentral’?

Perjalanan panjang dunia kesusastraan diwarnai konstruksi dan dekontruksi dalam lingkaran aliran sastra pada setiap zaman berbeda. Strukturalisme dan post strukturalisme, humanisme universal dan realis sosialis-revolusioner, sastra tekstual dan kontekstual, absurditas dan realitas-empiris, mencatatkan tensi-tensi ketegangan yang meramaikan dan memperkaya dunia sastra. Posisi para penyair dalam menanggapi fenomena lokal dan global di sekitarnya begitu beragam dan sepertinya mereka masih berada pada konteks pencarian ‘diri’ sehingga tidak mengherankan jika terjadi mimikri di sana -sini dan terdapat banyak kutub sastra.

Dunia subjektif individu dan teologi sastra “sufistik” misalnya, adalah dua buah warna yang dalam periode sastra pernah menjadi sentral dan hingga kini masih banyak penulis yang menjadikannya sebagai kiblat. Kecenderungan pertama mengkoptasi puisi sebatas struktur dan permainan semiotika, mistisisme linguistik belaka. Konteks hanyalah sumber dari penanda dan petanda bahasa. Sementara sastra sufistik membangun kontemplasi atas kekuatan supreme di luar diri manusia. Domain vertikal begitu kuat sehingga terkesan menegasikan relasi horizontal kontekstual. Realisme sosialis revolusioner menjadi kehilangan tempat pada puisi-puisi teologi profetik semacam yang ditulis oleh Abdul hadi WM, Amien Wangsitalaja, dan beberapa lainnya. Di barat, T.S. Elliot, meski dengan basis dan persperktif berbeda, mengesplorasi sesuatu yang ‘metafisis’ yang secara semangat memiliki kesamaan. Lalu bagaimana membaca karya sastra sastrawan-sastrawan muda Malang?

Karya-karya beberapa sastrawan muda Malang sepertinya tengah berada pada kisaran pencarian (eksperimentasi) stereotype estetis dan isi dalam dialektika latar perkembangan sastra yang melingkupinya. Hal ini wajar mengingat sejarah panjang kesusastraan Indonesia tak bisa dihindarkan dari warna ‘kolonial’ yang melahirkan kekuasaan sentral. Mimikri menjadi bagian reflektif dari memori sadar dan alam bawah sadar pengarang atas konstruksi mapan yang datang sebelumnya. Terlebih lagi dominasi dan berbagai gaya sastra, dengan dukungan kekuasaan media yang teramat sulit dihindari oleh mereka. Karena itu, dari pembacaan berulang dan seksama, saya dihadapkan pada peta tak purna dari ‘kemutakhiran’ karya-karya mereka. Peta yang menuntut kontinyuitas penelusuran ulang. Namun demikian, karya-karya sastrawan muda Malang perlu dikritisi dan didekati dengan perspektif objektif agar realitas-realitas yang saya sebutkan di atas tidak mereduksi subtansi kekuatan karya mereka.

Puisi-puisi Abdul Mukhid penyair muda Malang yang terkumpul dalam antologi tunggal “Tulislah Namaku dengan Abu” (2006) mengantarkan saya pada pengembaraan sastra “tanpa pusat”, tanpa mainstream, melanglang buana dari satu ruang ke ruang lainnya tanpa pernah berlama-lama di salah satunya. Mukhid suatu kesempatan terkesan subjektif, berasyik mansyuk dengan eksistensinya sebagai upaya membangun dialektika sunyi; seperti terlihat dalam puisi-puisinya yang berjudul Tulislah Namaku dengan Abu, Dialog imajiner Dengan Caligula, Catatan Sepi 1, 2, 3, Tanda Tanya Agung. Tapi dalam puisi lainnya Mukhid justru menebar kontekstualitas sosio-politik-kultural dengan diksi lugas seperti dalam puisinya, 56 Tahun Indonesia (Masih) Cemas dan Berdamai dengan Kenyataan. Sementara di sudut lainnya, sentuhan teologi ketuhanan Mukhid terekam dalam Tuhan Maafkan Aku, Tak Semua dan Bukalah Bilik Hatimu. Mukhid sepertinya ingin berkelana dalam beragam genre, meski mungkin tak disadarinya. Sebuah pilihan berpuisi yang merdeka meski tanpa ciri. Cara berpuisi Mukhid hampir merambah sebagian besar penyair muda Malang yang karyanya pernah saya baca.

Ragil Sukriwul ‘mendekontruksi’ lokalitas dengan menabur beberapa diksi bahasa Inggris ke dalam puisinya yang sebenarnya mayoritas dia tulis dalam Bahasa Indonesia. Bagi saya, Ragil ‘tak menganggap’ petanda ‘global’ sebagai ancaman yang akan memarginalkan warna bahasa lokal (Indonesia) dan pemaknaannya. Ada kesadaran dan keberanian untuk mengelaborasikan petanda lokal dan global dalam puisi karena batas budaya telah remuk dalam desa global (global village). Salah satu puisinya berjudul “Lost”, dan puisinya yang berjudul “Jangan Kartu Pos I” berisi petanda global (Bahasa Inggris) yang saya maksudkan.

……………………………

Berceritalah tentang perutmu yang masih saja berteriak

Meski telah disumpal senampan Pizza, tentang jemari

Telunjukmu yang berungkali tersayat karena ngotot ingin

Masak

Sendiri,

(Juga biografi lelaki negeri mana saja yang pergi dan datang di kencanmu)

Ceritakan saja meski selarik puisi.

I was there…! I’m very Happy!” teriakan asingmu ini

Hanya jadi

Barisan abjad-abjad penuh cemas di sini

Jangan kirim kartu pos lagi: benci!

Kirimkan saja aku perih.

Lebih jauh, dengan gaya bangunan struktur dalam beberapa puisinya yang seperti mengajak kita untuk kembali melihat karya penyair Amerika E.E. Cumming dan penyair Sutardji Calzoum Bahri, Ragil juga sepertinya ingin meletakkan struktur bukan sebagai beban dalam berpuisi. Kata bisa digeser, ditata horisontal, vertikal, miring, dan tak lurus-rapi. Namun yang membedakan Ragil dan Sutardji adalah bahwa sebenarnya Ragil tak sepenuhnya ingin membebaskan kata dari makna sebagaimana Sutardji. Lihat saja dalam beberapa puisinya, seperti Di Antara yang Datang dan Pergi dan Menggambar Bulan, Ragil nampak masih bersetia dengan relasi makna dalam kata yang merajut puisinya.

Tegar Prajaksa, Penyair muda yang sedang kuliah di jurusan sastra Inggris Universitas Brawijaya Malang, mendekontruksi struktur kata dalam puisi dengan melakukan pemecahan dan penyatuan suku kata sebagaimana dilakukan oleh penyair sekaligus pelukis dan pemahat Jerman Kurt Schwitters (1887-1948). Tegar melakukan dekonstruksi itu dalam puisinya Kontemporer Cinta. Tegar lalu dengan liar juga mendekontruksi sistem kultur ‘tabu’ dengan menghadirkan kata vagina dalam puisinya: Rengek Bocah Lima Tahun. Meski dalam banyak puisinya Tegar cenderung membawa kata dalam permainan strukur bebas, ia ternyata juga tak melepaskan diri dari godaan konteks di luar dirinya sebagai muatan yang mendahului penciptaan. Puisi Berjudul Lapindo, yang hanya berisi huruf 0, dan Hamid Mencari Iskandar bisa menjadi bukti.

Sementara dalam dunia prosa, nampak dalam cerpen Corry Atur, cerpenis perempuan yang masih muda dan sedang kuliah di Program Bahasa dan Sastra Unibraw Malang, ketegangan mitos dalam tradisi dan elemen modernitas justru berusaha dikolaborasikan dengan tujuan menghadirkan bentuk yang tak terpusat. Ada upaya membangun ‘ideologi’ yang tidak semata-mata berkiblat pada tradisi dan juga tidak serta-merta mengagungkan keilmiahan ‘modernitas’ dalam salah satu unsur sastra (literary devices). Corry yang telah lama tinggal di Malang memang menggunakan tradisi, dalam hal ini pernik-pernik mitologi, untuk membangun cerita dengan atmosfer modern. Folklore tentang Coban Rondo (salah satu tempat wisata di Malang) misalnya, yang dia hadirkan untuk menawarkan benang merah cerita yang dia tulis menunjukkan relasi kutub sastra sehingga tercipta medan magnit antar satu dengan yang lainnya. Hal ini sungguh menarik karena dalam wacana post-modernisme dua entitas yang begitu berbeda dimungkinkan bisa menjadi sumber inspirasi yang justru saling melengkapi, mengisi, bahkan mendekonstruksi.

Dengan begitu proses kreatif bakal mendapatkan ‘kebebasan’ dan keliarannya, seperti penggalan puisi Skizoprenia karya Miza, penyair dan mahasiswa di Program Bahasa dan Sastra Unibraw.

…………………………

Dalam keliaran dan kegilaan

Sesungguhnya tangis tak henti

Mendera

Lalu dengan sengaja

Mengapungkan diri di tengah laut

Biar dikoyak-koyak hiu

Epilog

Saya tidak berpretensi bahwa pembacaan saya atas beberapa sastrawan muda Malang tersebut di atas sudah representasif. Identifikasi dan pemetaan sastra di Malang membutuhkan proses yang tidak sekali jadi. Di luar itu, upaya untuk menjadikan gelombang sastra di Malang sebagai bagian revitalisasi dan perayaan sastra perlu terus mendapatkan apresiasi dan dukungan. Sastra yang terpusat dan dipusatkan, berada di atas menara gading dan menegasikan potensi sastra di daerah-daerah akan menjadikan berbagai kemungkinan kreativitas menjadi ‘terbatas’.

Sengkaling, Malang, Desember 2007


Puisi-Puisi : Nur Lodzi Hady

(http://muv-lodzi.blogspot.com)

INFEKSI

Pada tanah
Kering jiwa-jiwa terbakar
Kemarin lusa,
Lusuh kain benderaku robek
Pahit cinta
Berkali harus kusemai

Pada nisan
Yang menebar bau anyir darah
Kemarin,
Mesiu telah mengirim kabar
Bahwa pagi ini kerja belum lagi selesai

Dan akutemui darahku mendidih
Menamparku untuk segera memburu
Bergegas aku berlari
Mewadahi desing peluru

Hingga pada luka
Yang memar membekas popor senapan
Hadirku untuk bersaksi
Telah membuat luka-luka infeksi

( Malang, 25 April 2001 )

BERITA HARI INI

Berita hari ini:
Kudengar matahari enggan terbit
Sebab bulan tampaknya sedang bermalasan
Tidak tepat waktu
Tuk selesaikan tugas rutin
Kerja malam hari

Berita hari ini:
Kudengar mendung tebal bertebaran
Merayap pada dinding langit
Dan terlalu letih untuk beranjak kembali

Berita hari ini:
Koran-koran dan majalah robek
Televisi hanyalah rangkaian mesin yang membosankan
Yang semakin tak menawarkan apa-apa

Berita hari ini:
Udara panas menelusup
Pada setiap aliran darah
Kudengar orang-orang tiba-tiba berkumpul
Mengerumuni segumpal tubuh
Yang membujur kaku pada semak waktu
Di sebuah persimpangan yang lusuh

Berita hari ini:
Kudengar,
Tubuh malang itu adalah mayatku!

( malang, 21 April 2001 )

BUDAK

Yang namanya budak
Tetaplah budak:
Rendah!

Meski dikenakan pada badannya
Pakaian kebesaran sebesar raja
Jika ia budak:
Tetaplah rendah!

Bukan persoalan siapa
Atau apa motifnya
Tapi engkau membudak:
Itulah rendah!

Kau rendahkan dirimu
Karenanya kaurendahkan aku
Begitupun telah kaurendahkan tuhanmu.

PUISI-PUISI: Abdul Mukhid

(http://amoeck.multiply.com)

TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU

Bakarlah aku dalam bilik jantungmu
hingga yang tersisa hanya abu
Lalu dengan abu itu tulislah namaku
seperti waktu kau punguti jam-jam yang meragu

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kenangan hanyalah catatan alam yang
berdebu
Meski hidup cuma bayangan semu
Tataplah hari-hari dengan senyummu

Tulislah namaku dengan abu
Untuk sekedar memberi kemungkinan sang waktu
Melakukan tawar menawar dengan Tuhan
Karena perjalanan, betapapun berat, harus
diteruskan

Tuliskan namaku dengan abu
Berdoalah agar dari kematianku
datang kelahiran baru
Agar aku tak kehilangan kepercayaan
kepada kesejatian

Tulislah namaku dengan abu
Karena rasa berdaya tak boleh mati begitu saja
kesabaran menjadi samudra
daya hidup menjadi cakrawala

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kita tak pernah berencana bertemu
Tulislah namaku dengan abu
Biarlah angina membawa pergi kemana ia mau

21 Maret 1998


DI LUAR TERLALU GADUH

Dengan tergopoh-gopoh kugedor pintu:
“Buka pintu! Cepat! Di luar terlalu gaduh.
Aku ingin istirah, biar hatiku teduh.”

Tak ada jawab. Hanya senyap.

Kugedor lagi pintu. Kuteriakkan keras-keras
entah nama-Nya atau namaku.
Tetap tak ada jawab. Selain harap.

Sekali lagi kugedor pintu. Tak bisa lagi nunggu.
Kali ini segala hardik dan serapah
Melumur jua dari bibirku. Senyap sesaat.
Sampai…

“Kuncinya ada padamu!”

Aku kelabakan, berputar-putar mencari kunci.
Dari segala batas yang kutahu, aku mencari.
Dari segala ujung yang kutahu, aku mencari
Tak juga kutemu.

Dengan putus asa akupun berbisik lembut:
“Gusti. Bukakan pintu. Kuncinya tak kutemu.
Aku ingin istirah. Di luar terlalu gaduh.
Di luar terlalu gaduh…”

18 Desember 1998


SAJAK SEPOTONG MANGGA

Pernahkah engkau bertanya:
Kenapa mangga rela
Menjadi mangga

24 Desember 1999

Puisi-Puisi: Denny Misharudin

(http://suara-sunyi.blogspot.com)

Salah Jalan


Ada patahan-patahan kecil dihatiku
membentuk pulau-pulau─ terpisah

diantaranya:
gelap gulita
tak ada peta

Malang, Desember 2008


Terbakar Cinta

Serasa api
aku mati
dalam hujan rindu

Malang, Desember 2008

Rupanya

rupanya kau matahari
lenyap aku menatapmu

Malang, Februari 2009