Jumat, 14 Agustus 2009

Cerpen Ratna Indraswari "Kanal" : Dialektika Indonesia dan Belanda di era (Post)kolonial

(http://www.facebook.com/note.php?note_id=117052013060#/note.php?note_id=107834408060)

Cerpen “Kanal” (Jawa Pos, 26 April 2009) karya Ratna Indraswari Ibrahim menarik untuk dikaji dalam perspektif wacana sastra postkolonial. Ratna melukiskan dialektika (generasi) negeri bekas penjajah (Belanda) dan terjajah (Indonesia) dengan beberapa fenomena negosiasi budaya dan identitas yang melingkupinya. Sastra postkolonial memang tidak harus bertumpu pada tema konfrontasi senjata. Berbagai tema karya sastra yang terkait dengan fenomena sosial budaya yang terus berlangsung hingga kini, sebagai akibat dari praktek penjajahan, juga menjadi wilayah studi sastra postkolonial. Pemahaman bahwa bentuk penjajahan tidak hanya bertumpu pada kekuatan senjata, tetapi juga kekuatan politik, budaya, pendidikan (pengetahuan) dan teknologi menjadikan kajian sastra postkolonial tidak terbatas pada rentetan peristiwa dalam sejarah penjajahan masa silam.

“Kanal” membuka kembali memori penjajahan Belanda atas Indonesia sekaligus menghadirkan beberapa fragmen situasi dan relasi sosial budaya pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Di era penjajahan, Belanda (Barat) menjadi ‘pusat’, sementara Indonesia adalah ‘pinggiran’ yang dieksploitasi demi kejayaan Belanda. Di era (post)kolonial, Belanda, yang pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad, bisa jadi masih berusaha memosisikan dirinya sebagai ‘pusat’ dan negeri kuat. Pemerintah Belanda membiayai orang-orang Indonesia, seperti tokoh Nunung, untuk studi di Belanda. Tokoh Nunung dalam cerpen “Kanal” adalah segelintir orang Indonesia, seperti tokoh-tokoh penting Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan, yang merasakan bangku lembaga pendidikan di negeri Belanda. Studi di negeri ‘pusat’—Barat, bagaimanapun masih menjadi narasi besar dan impian orang-orang dari negeri ‘berkembang’, termasuk Indonesia.

Setting kota Amsterdam di mana tokoh Nunung melanjutkan studi adalah kota yang memiliki universitas ternama sehingga banyak mahasiswa mancanegara yang kagum dan tertarik untuk studi di sana. Amsterdam menjadi bagian dari konstruksi ‘kota metropolis’ yang membuat Nunung terasing—“sangat tidak merasa nyaman”, sebagaimana dilukiskan Ratna di bagian awal cerita—cultural shock yang sering terjadi dalam translokasi manusia dari satu negara ke negara lain. Sebagai satu dari sekian mahasiswa Indonesia yang mendapatkan dana studi dari negara Belanda, Nunung adalah representasi dari program ‘politik etis’ Belanda di era postkolonial. Kolonialisme secara formal memang telah berakhir ketika sebuah negera memproklamasikan kemerdekaannya, tapi bukan berarti praktek-praktek kolonialisme berakhir. Konstruksi wacana yang dilakukan barat terhadap negeri-negeri timur dengan berbagai bentuk budayanya, termasuk yang dilakukan oleh tokoh Bryan, mahasiswa Belanda, yang membangun stereotipe manusia dan budaya Indonesia melalui pengetahuannya yang distorsif dan subjektif, dari sudut pandang dan kepentingan orang Belanda, adalah bagian dari dinamika diskursus (post)kolonial yang tak bisa dilepaskan dari dialektika ‘otoritas’, ‘superioritas’ dan ‘hirarki’.

Konstruksi Citra Manusia dan Budaya Indonesia dan Belanda

Tokoh Bryan berupaya membangun citra ‘antropologis’ manusia Indonesia dengan berkata kepada Nunung, “Rambut orang Asia itu bagus ya.” Pernyataan Bryan ini kemudian disertai keinginan Bryan untuk melukis rambut Nunung. Pernyataan yang secara implisit berpotensi melahirkan ‘otoritas’ Bryan atas diri Nunung—generasi bekas negeri jajahan; Bryan menyanjung Nunung untuk mendapatkan untung. Stereotipe fisik yang dikonstruksi Bryan juga menegaskan bias hirarki ras manusia yang berimplikasi pada dikotomi warna rambut, mata dan juga kulit: orang Belanda berambut pirang, orang Indonesia berambut hitam—yang bagi Bryan indah. Berupaya ‘mendialogkan’ citra orang barat dan timur, Ratna Indraswari lalu menarasikan ‘counter’ atas konstruksi stereotype orang Indonesia yang dikontruksi oleh Byan. Nunung berkata kepada Bryan,” Aku melihat laki-laki di negerimu tidak punya banyak pancaran kelelakian, seperti laki-laki di negeriku. Tapi, aku kira perempuan di negerimu sangat mandiri, mereka jadi kehilangan watak keperempuannya. '' Di sini Ratna berusaha membandingkan perbedaan kontruksi gender kedua negara dan mengkonstruksi citra manusia Belanda di mata orang Indonesia.

Bryan yang oleh Nunung masih dianggap sebagai ‘orang asing’— karena baru kenal di kampus—lalu berusaha akrab dengan Nunung dengan mengatakan bahwa dia tahu banyak tentang Indonesia, terutama terkait dengan masyarakat Indonesia yang beragam namun dipenuhi kesenjangan sosial. Ketika Bryan berkata, “Begitu plural bangsamu, dari yang bisa belajar di sini sampai mereka yang tetap bertahan hidup di pedalaman Kalimantan atau Papua. Sedangkan di sini hampir seragam kehidupannya”, implikasi yang muncul adalah pencitraan Bryan atas Indonesia dan Belanda: Indonesia berada dalam konstruksi ‘inferior’ dan Belanda dalam posisi ‘superior’. Kesenjangan manusia Indonesia, antara mereka yang mendapatkan kesempatan pendidikan dengan mereka yang masih teralienasi di pedalaman adalah konstruksi narasi Indonesia yang dilakukan Bryan. Sebuah narasi yang seringkali dijadikan alasan oleh beberapa negara Barat untuk melaksanakan agenda ‘memeradabkan’ negara-negara dunia ketiga. Dalam konteks ini apakah kebijakan Belanda untuk memberikan beasiswa kepada Nunung bermakna seratus persen negatif dan selalu berada dalam kerangka binari oposisi antara (bekas) penjajah dan terjajah? Relasi penjajah dan yang terjajah tak selamanya oposisi, tetapi terkadang mutual. Baik Indonesia dan Belanda sama-sama bisa meraih keuntungan. Tokoh Nunung bisa pulang ke tanah air dengan ilmu yang makin bertambah untuk kemudian turut bekerja keras membangun Indonesia. Belanda mengambil keuntungan dengan melakukan penetrasi ‘otoritas’ dan pengaruh di Indonesia melalui Nunung.

Dialektika wacana postkolonial terlihat makin dinamis terutama ketika Bryan berkata kepada Nunung bahwa kakek Bryan pernah tinggal di Indonesia sebagai amtenar di pabrik tebu pada masa pendudukan Belanda. Bryan memberikan penegasan bahwa kakeknya tidak pernah menembak orang-orang Indonesia, karena sang kakek bukanlah tentara. Ini adalah pembelaan Bryan yang paradoksial, karena penjajahan yang dilakukan Belanda pada hakekatnya tidak hanya bertumpu pada senjata dan pemusnahan nyawa, tetapi juga eksploitasi kekayaan alam Indonesia, termasuk melalui kerja ‘orintalisme’ yang dilakukan oleh Snouck Horgunje. Sebagai bagian dari sistem dalam Pabrik tebu yang eksploitatif, kakek Bryan jelas bagian dari representasi imperialis karena pabrik tebu di era pendudukan Belanda menjadi bagian dari pendulum penjajah Belanda untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia. Bryan tampaknya ingin berkelit dan meraih simpati Nunung dengan menjauhkan Nunung dari persepsi generalisasi keterlibatan kakek Bryan dalam penjajahan Belanda di Indonesia yang kejam dan berdarah; Bryan membangun wacana bahwa penjajahan menyakitkan yang dilakukan oleh Belanda adalah sebatas menembak orang Indonesia. Sayang, Ratna tampaknya tak memiliki intensi membangun narasi resistensi (perlawanan) atas klaim Bryan ini.

Ratna justru cenderung menguatkan superioritas Belanda (Barat) dalam hal etos kerja. Tokoh Nunung mengutip pernyataan Eyangnya, ''Papamu kalau kerja ngotot kayak landa.” Ucapan ini secara implisit mengandung makna bahwa kerja keras (ngotot) adalah warisan dan budaya Belanda. Padahal bangsa Indonesia juga memiliki tradisi kerja keras dengan irama dan prinsip-prinsipnya. Benar bahwa Ratna tampaknya ingin menggaris bawahi ‘kerja ngotot’ seperti orang Belanda bisa beresiko menyita waktu dan menjebak manusia dalam kubangan materialisme, sehingga keluarga bisa mengalami disharmoni. Padahal di bagian lain cerita, Nunung berkata kepada Bryan,” ''Kalau di negeriku, kau bisa melihat kemandirian kami sampai di desa-desa. Bahkan, beberapa perempuan di desa secara kejiwaan lebih mandiri, karena mereka ikut menopang ekonomi keluarga […]”. Di sini Ratna jelas mewacanakan kerja keras manusia Indonesia dan kembali menyinggung persoalan gender. Narasi Ratna ini justru dengan sendirinya mendekonstruksi narasi Ratna sebelumnya yang secara eksplisit menyatakan bahwa, jika dibandingkan dengan wanita Indonesia, wanita Belanda lebih mandiri sehingga kehilangan watak keperempuanannya. Dan ternyata kerja keras manusia Indonesia juga luar biasa karena wanita juga sering menopang ekonomi keluarga. Hal ini berarti bahwa “kerja ngotot kayak landa” perlu diperjelas kembali parameter dan kriterianya oleh Ratna.

Menimbang Narasi Resistensi

Sebagai tokoh terdidik, Nunung mestinya lebih bisa menaikkan ‘bargaining position’ citra Indonesia dan melepaskan konstruksi negatif manusia dan budaya Indonesia di mata Belanda. Namun Nunung justru memberikan generalisasi sikap manusia Indonesia yang mengalir dan cenderung berharap kepada Ratu Adil. Memberikan tanggapan atas pernyataan Bryan bahwa orang-orang Belanda sudah terdidik dengan jadwal waktu yang tepat, Nunung berkata kepada Bryan:

''Kau tahu, tidak banyak bangsaku melakukan hal itu. Hidup kami mengalir bersama mimpi-mimpi dan harapan. Karena itu apa pun jeleknya situasi negeri, kami masih berharap ada ratu adil yang akan menolong setiap orang di negeriku.''

Secara eksplisit berarti Nunung melihat bahwa orang Indonesia tidak terbiasa dengan jadwal, tapi cenderung mengalir. Dengan permasalahan dalam negeri Indonesia yang juga disinggung dalam cerpen “Kanal” , yang begitu serius, mulai masalah politik, ekonomi, hukum, korupsi, apakah dengan mengalir seperti air dan bertumpu kepada ratu adil, Indonesia akan bisa sejajar dengan negara-negara maju seperti Belanda, yang sekian lama bisa mendanai orang-orang Indonesia untuk studi di sana. Generalisasi Nunung atas sikap manusia Indonesia dan penggunaan kata “kami” jelas tidak merepresentasikan sikap manusia Indonesia yang begitu plural.

Ratna Indraswari Ibrahim tampaknya masih perlu memikirkan bagaimana teks “Kanal” tidak hanya berhenti pada ‘nostalgia’ masa penjajahan, dan kisah dua insan beda bangsa, tetapi bagaimana juga membangun ‘resistensi’ Indonesia di mata bangsa yang pernah menjajahnya. Namun, konstruksi narasi resistensi Indonesia atas Belanda pasti sangat dipengaruhi oleh ‘prinsip’ dan ‘pilihan’ Ratna Indraswari dalam ‘bersastra’. Di akhir cerita, Ratna memilih menarasikan Nunung yang tengah merasa bahwa Bryan duduk di sampingnya ketika pesawat membawa Nunung pulang ke Indonesia. Apakah citra lelaki Belanda seperti Bryan dan permainan wacana yang dibuatnya begitu kuat membayangi alam pikiran Nunung?


Yusri Fajar
Bayreuth Bayern, 11 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar